Lompat ke isi

Kitsune

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pangeran Hanzoku di India sedang diserang rubah berekor sembilan (lukisan ukiyo-e Utagawa Kuniyoshi dari abad ke-19)

Kitsune (狐, キツネ, IPA: [kitsu͍ne] ( simak)) adalah sebutan untuk binatang rubah dalam bahasa Jepang. Dalam cerita rakyat Jepang, rubah sering ditampilkan dalam berbagai cerita sebagai makhluk cerdas dengan kemampuan sihirnya yang makin sempurna sejalan dengan makin bijak dan semakin tua rubah tersebut. Selain itu, semua rubah dapat menjelma menjadi manusia laki-laki atau perempuan.[1] Dalam legenda, rubah sering diceritakan sebagai penjaga yang setia, teman, kekasih, atau istri, walaupun sering terdapat kisah rubah menipu manusia.

Di zaman Jepang kuno, rubah dan manusia hidup saling berdekatan sehingga legenda tentang kitsune muncul dari persahabatan antara manusia dan rubah. Dalam kepercayaan Shinto, kitsune disebut Inari yang bertugas sebagai pembawa pesan dari Kami. Semakin banyak ekor yang dimiliki kitsune (kitsune bisa memiliki sampai 9 ekor), maka semakin tua, semakin bijak, dan makin kuat pula kitsune tersebut. Sebagian orang memberi persembahan untuk kitsune karena dianggap memiliki kekuatan gaib.

Asal usul

[sunting | sunting sumber]
Rubah berekor sembilan (huli jing) yang mirip dengan kitsune dalam cerita rakyat Tiongkok.

Mitos kitsune sering menjadi bahan perdebatan, karena seluruhnya mungkin berasal dari sumber asing atau bisa juga merupakan konsep asli Jepang yang berkembang pada abad ke-5 SM. Sebagian mitos tentang rubah di Jepang bisa ditelusur hingga ke cerita rakyat Tiongkok, Korea, atau India. Cerita paling tua tentang kitsune berasal dari Konjaku Monogatari yang berisi koleksi cerita Jepang, India, dan Tiongkok yang berasal dari abad ke-11.[2] Cerita rakyat Tiongkok mengisahkan makhluk huli jing (arwah rubah) yang mirip kitsune dan bisa memiliki ekor hingga sembilan. Di Korea, makhluk yang disebut kumiho (rubah berekor sembilan) merupakan makhluk mistik yang telah berumur lebih dari seribu tahun. Rubah di Tiongkok dan Korea digambarkan berbeda dengan rubah di Jepang. Tidak seperti di Jepang, rubah kumiho di Korea selalu digambarkan sebagai makhluk jahat. Walaupun demikian, ilmuwan seperti Ugo A. Casal berpendapat bahwa persamaan dalam cerita tentang rubah menunjukkan bahwa mitos kitsune berasal kitab India seperti Hitopadesha yang menyebar ke Tiongkok dan Korea, hingga akhirnya sampai ke Jepang.[3]

Sebaliknya, ahli cerita rakyat Jepang, Nozaki Kiyoshi, berargumentasi bahwa kitsune sudah dianggap sebagai sahabat orang Jepang sejak abad ke-4, dan unsur-unsur yang diimpor dari Tiongkok dan Korea hanyalah sifat-sifat jelek kitsune.[4] Nozaki menyatakan bahwa dalam naskah Nihon Ryakki asal abad ke-16, terdapat cerita tentang rubah dan manusia yang hidup berdampingan pada zaman kuno Jepang, sehingga menurut Nozaki merupakan latar belakang timbulnya legenda asli Jepang tentang kitsune.[5] Peneliti Inari bernama Karen Smyers berpendapat bahwa ide rubah sebagai penggoda manusia, serta hubungan mitos rubah dengan agama Buddha diperkenalkan ke dalam cerita rakyat Jepang melalui cerita serupa asal Tiongkok, namun Smyers mengatakan beberapa cerita berisi unsur-unsur cerita yang khas Jepang.[6]

Etimologi

[sunting | sunting sumber]
Rubah Hokkaido sedang tidur di atas salju. Di Jepang terdapat dua subspesies rubah merah: rubah Hokkaido (Vulpes vulpes schrencki), dan rubah merah Jepang (Vulpes vulpes japonica).

Menurut Nozaki, kata "kitsune" berasal dari onomatope.[5] Kata "kitsune" berasal dari suara salakan rubah yang menurut pendengaran orang Jepang berbunyi "kitsu", sedangkan akhiran "ne" digunakan untuk menunjukkan rasa kasih sayang. Asal usul kata kitsune juga digunakan Nozaki untuk menunjukkan bukti lebih lanjut bahwa kisah rubah baik hati dalam cerita rakyat Jepang adalah produk dalam negeri dan bukan kisah impor.[4] Bunyi "kitsu" sebagai suara rubah menyalak sudah tidak dikenal orang pada zaman sekarang. Dalam bahasa Jepang modern, suara rubah ditulis sebagai "kon kon" atau "gon gon".

Asal usul nama "kitsune" dikisahkan dalam dongeng tertua yang hingga sekarang masih sering diceritakan orang, tetapi mengandung penjelasan etimologi yang sekarang dianggap tidak benar.[7] Berbeda dengan sebagian besar dongeng yang menceritakan kitsune bisa berubah wujud menjadi wanita dan menikah dengan manusia, dongeng berikut ini tidak berakhir tragis:[8][9]

Pria bernama Ono asal Mino (menurut legenda kuno Jepang tahun 545), menghabiskan musim demi musim berkhayal tentang wanita cantik yang sesuai dengan seleranya. Di suatu senja, Ono bertemu dengan wanita idealnya di padang rumput yang luas, dan mereka berdua akhirnya menikah. Bersamaan dengan kelahiran putra pertama mereka, anjing yang dipelihara Ono juga melahirkan. Anak anjing yang dilahirkan tumbuh sebagai anjing yang semakin hari semakin galak terhadap istri Ono. Permohonan sang istri untuk membunuh anjing galak tersebut ditolak Ono. Pada akhirnya di suatu hari, si anjing galak tersebut menyerang istri Ono dengan ganas. Istri Ono begitu ketakutan hingga berubah bentuk menjadi rubah, meloncat pagar dan kabur.
"Istriku, kau mungkin seekor rubah," begitu Ono memanggil-manggil istrinya agar pulang, "tapi kau tetap ibu dari anakku dan aku cinta padamu. Pulanglah bila kau berkenan, aku selalu menunggumu."
Sang istri akhirnya pulang ke rumah di setiap senja, dan tidur di pelukan Ono.[7]

Istilah "kitsune" merupakan sebutan untuk siluman rubah yang pulang ke rumah suami sebagai wanita di senja hari, tetapi pergi di pagi hari sebagai rubah. Dalam bahasa Jepang kuno, kata "kitsu-ne" berarti "datang dan tidur", sedangkan kata "ki-tsune" berarti "selalu datang".[9]

Deskripsi

[sunting | sunting sumber]
Patung kitsune di kuil Inari dekat Todaiji, Nara

Kitsune dipercaya memiliki kecerdasan super, kekuatan sihir, dan panjang umur. Sebagai sejenis yōkai atau makhluk halus, "kitsune" sering dijelaskan sebagai "arwah rubah" tetapi bukan hantu, dan bentuk fisiknya tidak berbeda dengan rubah biasa. Semua rubah yang panjang umur juga dipercaya memiliki kemampuan supranatural.[6]

Kitsune digolongkan menjadi dua kelompok besar. Kelompok zenko yang terdiri dari rubah baik hati yang bersifat kedewaan (sering disebut rubah Inari), dan kelompok rubah padang rumput (yako) yang suka mempermainkan manusia dan bahkan bersifat jahat[10] Tradisi berbagai daerah di Jepang juga masih mengelompokkan kitsune lebih jauh lagi[11] Arwah rubah tak kasatmata yang disebut ninko misalnya, hanya bisa dilihat manusia yang sedang kerasukan ninko. Tradisi lain mengelompokkan kitsune ke dalam salah satu dari 13 jenis kitsune berdasarkan kemampuan supranatural yang dimiliki.[12][13]

Secara fisik, kitsune dipercaya bisa memiliki hingga 9 ekor.[14] Jumlah ekor yang semakin banyak biasanya menunjukkan rubah yang makin tua tetapi semakin kuat. Beberapa cerita rakyat bahkan mengatakan ekor rubah hanya tumbuh kalau rubah tersebut sudah berumur 1.000 tahun[15]

Dalam cerita rakyat, kitsune sering digambarkan berekor satu, lima, tujuh, atau sembilan.[16] Ketika kitsune mendapatkan ekornya yang ke-9, bulu kitsune menjadi berwarna putih atau emas.[14] Kitsune jenis ini disebut kyūbi no kitsune (kitsune berekor sembilan) dan memiliki kemampuan untuk mendengar dan melihat segala peristiwa yang terjadi di dunia. Dongeng lain menggambarkan mereka sebagai makhluk super bijak dan serba tahu.[17]

Kartu monster (obake karuta) dari awal abad ke-19 yang bergambar kitsune

Kitsune bisa berubah wujud menjadi manusia dan kemampuan ini baru didapat setelah kitsune mencapai usia tertentu (biasanya 100 tahun), walaupun beberapa cerita mengatakan 50 tahun.[15] Siluman rubah harus meletakkan sejenis tanaman alang-alang yang tumbuh di dekat air, daun yang lebar, atau tengkorak di atas kepalanya sebagai syarat perubahan wujud.[18] Rubah bisa berubah wujud menjadi wanita cantik, anak perempuan, atau lelaki tua. Perubahan wujud ini tidak dibatasi umur atau jenis kelamin rubah,[6] dan kitsune dapat menjadi kembaran dari sosok orang tertentu.[19] Rubah sangat terkenal dengan kemampuan berubah wujud sebagai wanita cantik. Pada abad pertengahan, orang Jepang percaya kalau ada wanita yang sedang berada sendirian pada saat senja atau malam hari kemungkinan adalah seekor rubah.[20]

Dalam beberapa cerita, kitsune memiliki kesulitan dalam menyembunyikan ekornya ketika sedang menyamar menjadi manusia. Kitsune sering ketahuan sedang mencari-cari ekornya, mungkin kalau rubah sedang mabuk atau kurang hati-hati. Kelemahan ini bisa digunakan untuk memastikan manusia yang sedang dilihat adalah siluman kitsune.[21]

Berbagai variasi cerita mengisahkan kitsune sebagai makhluk yang masih mempertahankan ciri-ciri khas rubah, seperti tubuh yang bermantelkan bulu-bulu halus, bayangan siluman kitsune yang sama seperti bayangan rubah, atau siluman kitsune yang terlihat sebagai rubah ketika sedang berkaca.[22] Istilah "kitsune-gao" (muka kitsune) digunakan di Jepang untuk menyebut wanita yang berwajah sempit, mata yang berdekatan, alis mata yang tipis, dan tulang pipi yang tinggi. Di zaman dulu, wanita bermuka kitsune-gao dianggap cantik, dan dipercaya sebagai rubah yang sedang berubah wujud sebagai wanita dalam beberapa dongeng.[23] Kitsune takut dan sangat benci pada anjing, bahkan ketika sedang berubah wujud sebagai manusia. Sebagian kitsune bahkan gemetaran kalau melihat anjing, kembali berubah wujud menjadi rubah dan lari pontang-panting. Orang yang taat dan berbakti kabarnya gampang mengenali siluman rubah.[24]

Salah satu cerita rakyat mengisahkan ketidaksempurnaan perubahan wujud seekor kitsune yang sedang menjadi manusia bernama Koan. Menurut cerita, Koan yang bijak dan memiliki kekuatan sihir sedang mau mandi di rumah salah seorang muridnya. Air mandi ternyata dimasak terlalu panas, dan kaki Koan melepuh ketika masuk ke bak mandi. "Koan yang sedang kesakitan, lari keluar dari kamar mandi telanjang. Orang-orang di rumah yang melihatnya terkejut. Sekujur badan Koan ternyata ditumbuhi bulu seperti mantel, berikut ekor dari seekor rubah. Koan lalu berubah wujud di hadapan murid-muridnya menjadi seekor rubah tua dan melarikan diri."[25]

Kemampuan supranatural lain yang dimiliki kitsune, antara lain: mulut dan ekor yang bisa mengeluarkan api atau petir (dikenal sebagai kitsune-bi yang secara harafiah berarti "api kitsune"), membuat manusia kerasukan, memberi pesan di dalam mimpi orang agar melakukan sesuatu, terbang, tak kasatmata, dan menciptakan ilusi yang begitu mendetail hingga tidak bisa dibedakan dari kenyataan.[18][22] Pada beberapa cerita, kitsune bahkan memiliki kekuatan yang lebih besar lagi, sampai bisa mengubah ruang dan waktu, membuat orang menjadi marah, atau berubah menjadi bentuk-bentuk yang fantastis, seperti pohon yang sangat tinggi atau sebagai bulan kedua di langit.[26][27] Kitsune lainnya memiliki ciri-ciri yang mengingatkan orang pada vampir atau succubus dan memangsa roh manusia, biasanya melalui kontak seks.[28]

Kitsunetsuki

[sunting | sunting sumber]
Inari dan arwah rubah membantu pandai besi Munechika sewaktu membuat pedang Ko-kitsune-maru (Rubah Kecil) di akhir abad ke-10 (tema drama noh Sanjo Kokaji)

Istilah kitsunetsuki (狐憑き atau 狐付き) secara harafiah berarti kerasukan kitsune. Korban biasanya wanita muda yang kemasukan kitsune dari bagian kuku jari atau melalui bagian buah dada.[29] Pada beberapa kasus, wajah korban konon berubah sedemikian rupa hingga menyerupai rubah. Menurut tradisi di Jepang, kalau orang Jepang yang buta huruf sedang kerasukan kitsune, orang tersebut bisa melek huruf untuk sementara waktu.[30]

Ahli cerita rakyat Lafcadio Hearn mengisahkan peristiwa kerasukan kitsune dalam volume pertama buku karyanya Glimpses of Unfamiliar Japan:

Aneh memang kegilaan orang yang dirasuki iblis rubah. Kadang-kadang mereka berlarian telanjang sambil berteriak-teriak di jalanan. Kadang-kadang mereka tidur-tiduran dengan mulut berbuih dan menyalak seperti rubah. Dan di bagian tubuh orang yang kerasukan, terlihat benjolan yang bergerak-gerak di bawah kulit yang kelihatannya memiliki nyawa sendiri. Bila ditusuk dengan jarum, benjolan tersebut langsung berpindah ke tempat lain. Benjolan tidak bisa dicengkeram, lepas bila ditekan dengan tangan yang kuat dan lolos dari jari-jari. Orang yang sedang kerasukan kabarnya bisa berbicara dan menulis bahasa yang mereka tidak kuasai sebelum kerasukan. Mereka hanya memakan makanan yang dipercaya disenangi rubah, seperti — tahu, aburagé, azukimeshi, dan lain lain. Mereka juga makan banyak sekali dan membela diri bahwa yang sedang makan itu bukan mereka, tetapi arwah rubah.[31]

Lafcadio Hearn menambahkan bahwa orang yang sudah terbebas dari kerasukan kitsune bakal tidak doyan lagi makan tahu aburage, azukimeshi, atau makanan lain yang digemari rubah.

Upacara mengusir setan dilakukan di kuil-kuil Inari untuk membujuk kitsune agar mau keluar dari tubuh orang yang sedang dimasukinya.[32] Di zaman dulu, kalau usaha lemah lembut membujuk rubah tidak berhasil atau pendeta kebetulan tidak ada, korban kitsunetsuki dipukuli atau dibakar sampai terluka parah agar kitsune mau keluar. Kalau ada seorang anggota keluarga yang kerasukan, seluruh anggota keluarga korban diasingkan oleh masyarakat.[31]

Di Jepang, kerasukan kitsune (kitsunetsuki) sudah dianggap sebagai penyakit sejak zaman Heian dan merupakan diagnosis umum untuk gejala penyakit mental hingga di awal abad ke-20.[33][34] Kerasukan digunakan sebagai penjelasan kelakuan abnormal dari penderita. Di akhir abad ke-19, Dr. Shunichi Shimamura mencatat beberapa gejala penyakit yang disebabkan demam sering dianggap sebagai kitsunetsuki.[35]

Dalam istilah kedokteran, kerasukan kitsune merupakan gejala penyakit mental yang khas dalam kebudayaan Jepang. Pasien percaya dirinya sedang dirasuki rubah.[36] Gejala kerasukan kitsune di antaranya selalu ingin makan nasi atau kacang azuki, bengong, gelisah, dan menghindari tatapan mata orang lain. Penyakit kerasukan kitsune mirip tetapi berbeda jauh dari lycanthropy (manusia serigala).[37]

Hoshi no tama

[sunting | sunting sumber]
Kitsune yang memancarkan cahaya kitsune-bi sedang berkumpul di dekat kota Edo (lukisan ukiyo-e karya Hiroshige)

Penggambaran kitsune dan korbannya sering mengikutsertakan benda putih yang disebut "bola bintang" (hoshi no tama) berbentuk bulat atau seperti bawang. Dalam dongeng, permata hoshi no tama berselimutkan api disebut kitsune-bi (api rubah).[38] Di dalam sebagian cerita, hoshi no tama digambarkan sebagai mutiara atau permata yang memiliki kekuatan sihir.[39] Ketika sedang tidak berubah wujud menjadi manusia atau merasuki manusia, kitsune menggigit hoshi no tama atau membawanya di bagian ekor.[15] Permata merupakan simbol yang lazim ditemukan pada Inari, dan rubah suci Inari sangat jarang digambarkan tidak memiliki permata.[40]

Sebagian orang percaya, sebagian kekuatan kitsune berada di dalam permata "bola bintang" ketika kitsune berubah wujud. Cerita lain menggambarkan mutiara sebagai perlambang nyawa kitsune. Kitsune akan mati jika terlalu lama terpisah dari mutiaranya. Orang yang berhasil mengambil bola kitsune, kabarnya bisa menukar bola tersebut dengan kekuatan sihir yang dimiliki kitsune.[41] Dalam dongeng abad ke-12, seorang laki-laki berhasil mengambil bola kitsune dan mendapat imbalan ketika mengembalikannya:

"Kau terkutuk!" maki sang rubah. "Kembalikan bolaku!" Tapi laki-laki itu mengabaikan permohonan kitsune, hingga kitsune berkata sambil menangis, "Baiklah, kau boleh ambil bolaku, tetapi bola tersebut bakal tidak ada gunanya buat kau, kalau kau tidak tahu cara menggunakannya. Bagiku, bola itu adalah segala-galanya. Aku peringatkan, kalau kau tidak mau mengembalikannya, kau bakalan jadi musuhku selamanya. Tapi bila kau mau mengembalikannya, aku akan terus mendampingimu bagaikan dewa pelindung."

Nyawa laki-laki tersebut kemudian diselamatkan sang rubah yang membantunya melawan gerombolan bandit.[42]

Penggambaran

[sunting | sunting sumber]

Pelayan Inari

[sunting | sunting sumber]
Taira no Kiyomori bertemu dengan Inari. Lukisan ukiyo-e karya Utagawa Kuniyoshi.

Dalam kepercayaan Shinto, kitsune sering dikaitkan dengan Inari.[43] Hubungan antara Inari dan kitsune makin memperkuat kedudukan kitsune dalam dunia supranatural.[44] Kitsune mulanya merupakan pembawa pesan yang bertugas bagi dewa Inari, tetapi garis pemisah antara Inari dan kitsune makin kabur sehingga Inari digambarkan sebagai seekor rubah. Kuil Shinto yang memuliakan Inari disebut kuil Inari, tempat orang memberikan sesajen[11] Kitsune kabarnya suka sekali makan potongan tahu goreng aburage. Kitsune makan aburage yang biasa diletakkan di atas masakan mi Jepang yang disebut Kitsune Udon dan Kitsune Soba. Sejenis sushi yang dimasukkan di dalam kantong dari aburage disebut Inari-zushi.[45] Ahli cerita rakyat sering berspekulasi tentang keberadaan kepercayaan rubah yang lain, karena rubah sejak dulu sudah dipuja sebagai Kami.[46]

Kitsune di kuil Inari berwarna putih yang merupakan warna pertanda baik.[11] Mereka dipercaya memiliki kekuatan untuk menangkal iblis, dan kadang-kadang bertugas sebagai pelindung arwah. Selain berjaga-jaga di kuil Inari, kitsune diminta agar melindungi penduduk setempat dari rubah liar (''nogitsune) yang suka membuat keonaran. Sama seperti kitsune berwarna putih, kitsune berwarna hitam dan kitsune berekor sembilan juga dianggap pertanda baik.[21]

Menurut kepercayaan yang berasal dari feng shui, rubah memiliki kekuatan luar biasa melawan iblis, sehingga patung kitsune konon bisa mengusir hawa kimon atau energi yang mengalir arah timur laut. Kuil Inari seperti kuil Fushimi Inari di Kyoto sering memiliki koleksi patung kitsune yang banyak sekali.

Patung kitsune dalam berbagai ukuran di Kuil Fushimi Inari, Kyoto

Kitsune sering digambarkan sebagai penipu dengan motif yang bervariasi, mulai dari sekadar ingin berbuat nakal hingga merugikan manusia. Kitsune dikisahkan senang mempermainkan samurai yang sombong, saudagar rakus, dan rakyat biasa yang suka pamer. Kitsune yang lebih kejam konon suka mengerjai pedagang miskin, petani, dan biksu yang saleh. Korban kitsune biasa laki-laki, sedangkan perempuan hanya bisa kerasukan kitsune.[20] Kitsune misalnya, dipercaya menggunakan bola api kitsune-bi sewaktu membantu pelancong yang tersesat.[47][48] Taktik lain kitsune adalah mengelabui korban dengan ilusi dan tipuan mata.[20] Kitsune memperdaya manusia dengan maksud merayu, mencuri makanan, memberi pelajaran untuk orang yang sombong, atau membalas dendam sesudah dicederai.

Permainan tradisional kitsune-ken merupakan salah satu jenis permainan Batu-Gunting-Kertas dengan tiga bentuk telapak tangan dan jari-jari yang melambangkan rubah, pemburu, dan kepala kampung. Pemburu kalah dari kepala kampung, dan sebaliknya pemburu menang atas rubah, tetapi rubah bisa memperdaya kepala kampung.[49][50]

Kitsune digambarkan suka membuat onar ditambah reputasi suka membalas dendam. Akibatnya, orang berusaha mengungkap motif tersembunyi di balik tindakan rubah. Toyotomi Hideyoshi pernah menulis surat kepada Inari. Di dalam suratnya, Hideyoshi melaporkan keonaran yang dibuat salah seekor rubah terhadap para pelayan, dan memohon agar rubah-rubah diselidiki dan ditindaklanjuti. Kalau insiden ini tidak ditanggapi, Hideyoshi mengancam akan memburu semua rubah yang ada.[51]

Tamamo-no-Mae, kitsune yang sering ditampilkan dalam noh dan kyogen. Lukisan ukiyo-e karya Yoshitoshi.

Kitsune dikenal suka menepati janji dan berusaha keras untuk bisa membalas budi. Kitsune kadang-kadang membuat onar seperti yang dikisahkan sebuah cerita asal abad ke-12. Ancaman pemilik rumah untuk membinasakan semua rubah berhasil meyakinkan kawanan rubah untuk mengubah kelakuan. Kepala keluarga kawanan rubah hadir dalam mimpi pemilik rumah untuk mohon pengampunan dari pemilik rumah, sekaligus berjanji untuk berkelakuan baik dan membalas budi dengan menjadi pelindung keluarga.[52]

Sebagian kitsune menggunakan sihir untuk menguntungkan manusia yang dianggap teman atau majikan. Sebagai golongan Yōkai, ia tidak memiliki tata krama seperti manusia. Kitsune bisa mencuri uang dari rumah tetangga untuk diberikan kepada majikan, atau mencuri uang majikan sendiri. Di zaman dulu, pemilik rumah yang memelihara kitsune selalu dicurigai tetangga.[53]

Dalam cerita rakyat sering dikisahkan tentang pembayaran atas barang atau jasa yang dilakukan kitsune. Kitsune bisa menipu penglihatan orang yang menerima pembayaran dari kitsune dengan sihir. Emas, uang, atau batu permata yang diterima dari kitsune sebenarnya hanya kertas bekas, daun-daunan, cabang dan ranting, batu, atau benda-benda sejenis.[54][55] Hadiah yang benar-benar diberikan kitsune kepada manusia biasanya berupa benda-benda yang tak berwujud, seperti perlindungan, pengetahuan, dan umur panjang.[55]

Istri dan kekasih

[sunting | sunting sumber]
Kuzunoha yang memiliki bayangan seekor rubah. Karakter populer dalam kabuki (lukisan ukiyo-e karya Utagawa Kuniyoshi)

Kitsune sering digambarkan sebagai wanita penggoda dalam cerita yang melibatkan laki-laki muda.[56] Walaupun kitsune berperan sebagai wanita penggoda, cerita biasanya bersifat romantis.[57] Dalam cerita, laki-laki sering menikahi wanita cantik yang merahasiakan bahwa dirinya adalah seekor rubah. Ketika rahasia terbongkar, sang istri terpaksa meninggalkan suami. Pada sebagian cerita, laki-laki yang menikahi siluman rubah bagaikan bangun dari mimpi, kebingungan, berada jauh dari rumah, dan harus kembali ke rumah yang ditinggalinya dulu dengan membawa malu.

Beberapa cerita mengisahkan siluman rubah yang dijadikan istri melahirkan anak manusia. Anak-anak yang dilahirkan memiliki kemampuan fisik dan bakat supranatural melebihi orang biasa. Bakat ini juga diturunkan ke anak cucu bila manusia keturunan rubah kembali melahirkan anak.[21] Seorang ahli kosmologi (onmyōji) Jepang bernama Abe no Seimei dikatakan memiliki kekuatan sihir luar biasa karena keturunan kitsune.[58]

Kitsune sering dikisahkan menikahi sesama kitsune. Dalam bahasa Jepang, hujan lebat yang turun tiba-tiba ketika langit sedang cerah (hujan panas) disebut kitsune no yomeiri atau "pernikahan kitsune". Istilah tersebut berasal dari legenda yang mengisahkan kondisi cuaca pada saat upacara pernikahan kitsune.[59] Peristiwa pernikahan kitsune dianggap sebagai pertanda baik, tetapi kitsune akan marah bila hadir tamu yang tidak diundang.[60]

Cerita fiksi

[sunting | sunting sumber]

Kitsune tampil dalam berbagai seni budaya Jepang. Sandiwara tradisional Jepang seperti noh, kyogen, bunraku, and kabuki sering mengisahkan legenda kitsune.[61][62] Begitu pula halnya dengan budaya kontemporer seperti manga dan permainan video. Pengarang fiksi dari Barat juga mulai menulis cerita yang diilhami legenda kitsune. Penggambaran kitsune menurut orang Barat biasanya tidak berbeda jauh dengan cerita asli kitsune.

Ibu Abe no Seimei yang bernama Kuzunoha merupakan tokoh kitsune yang dikenal luas dalam seni teater tradisional Jepang. Kuzunoha ditampilkan dalam cerita sandiwara bunraku dan kabuki Ashiya Dōman Ōuchi Kagami (Kaca di Ashiya Dōman and Ōuchi) yang terdiri dari lima bagian. Bagian ke-4 yang berjudul Kuzunoha atau Rubah dari Hutan Shinoda sering dipentaskan secara terpisah. Bagian ini menceritakan terbongkarnya rahasia Kuzunoha sebagai siluman rubah dan adegan saat harus meninggalkan suami dan anaknya.[63][64]

Tamamo-no-Mae adalah tokoh fiksi yang menjadi tema drama noh berjudul Sesshoseki (Batu Kematian), dan sandiwara kabuki/kyogen berjudul Tamamonomae (Penyihir Rubah yang Cantik). Tamamo-no-Mae berbuat banyak kejahatan di India, Tiongkok, dan Jepang, tetapi rahasianya terbongkar dan tewas. Arwahnya menjadi sesshoseki (batu kematian). Arwah Tamamo-no-Mae akhirnya dibebaskan biksu bernama Gennō.[65][66][67]

Genkurō adalah seekor kitsune dikenal berbakti kepada orang tua. Dalam cerita bunraku dan kabuki berjudul Yoshitsune Sembon Zakura (Yoshitsune dan Seribu Pohon Sakura), kekasih Yoshitsune yang bernama Putri Shizuka memiliki tsuzumi (gendang kecil) yang dibuat dari kulit rubah orang tua Genkurō. Dalam penyamarannya sebagai Satō Tadanobu, Genkurō berhasil menyelamatkan Putri Shizuka dari Minamoto no Yoritomo. Namun identitas Genkurō sebagai siluman rubah terbongkar karena Satō Tadanobu yang asli muncul. Genkurō mengatakan suara kedua orangtuanya terdengar setiap kali gendang tsuzumi yang dimiliki Shizuka dipukul. Yoshitsune dan Shizuka akhirnya memberikan tsuzumi tersebut kepada Genkurō. Sebagai imbalannya, Genkurō memberi perlindungan sihir untuk Yoshitsune.[58][68][69]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Casal, U.A. The Goblin Fox and Badger and Other Witch Animals of Japan. Nanzan University Press. hlm. 1–93. 
  2. ^ Goff, Janet. "Foxes in Japanese culture: beautiful or beastly?" Japan Quarterly 44:2 (April-Juni 1997).
  3. ^ Johnson, T.W. "Far Eastern Fox Lore". Asian Folklore Studies 33:1 (1974) 35-68
  4. ^ a b Nozaki, Kiyoshi. Kitsune — Japan's Fox of Mystery, Romance, and Humor. Tokyo: The Hokuseidô Press, 1961. 5
  5. ^ a b Nozaki. Kitsune. 3
  6. ^ a b c Smyers, Karen Ann. The Fox and the Jewel: Shared and Private Meanings in Contemporary Japanese Inari Worship. Honolulu: University of Hawaii Press, 1999. 127-128
  7. ^ a b Hamel, Frank. Human Animals: Werewolves & Other Transformations. New Hyde Park, N.Y.: University Books, 1969. 89
  8. ^ Goff. "Foxes". Japan Quarterly 44:2
  9. ^ a b Smyers. The Fox and the Jewel. 72
  10. ^ Yōkai no hon Prof. Abe Masaji & Prof. Ishikawa Junichiro
  11. ^ a b c Hearn, Lafcadio. Glimpses of Unfamiliar Japan. Project Gutenberg e-text edition, 2005. 154
  12. ^ Hall, Jamie. Half Human, Half Animal: Tales of Werewolves and Related Creatures. Bloomington, Indiana: Authorhouse, 2003. 139
  13. ^ Nozaki. Kitsune. 211-212
  14. ^ a b Smyers. The Fox and the Jewel. 129
  15. ^ a b c Hamel. Human Animals. 91
  16. ^ "Kitsune, Kumiho, Huli Jing, Fox" (html). 2003-04-28. Diakses tanggal 2006-12-14. 
  17. ^ Hearn. Glimpses. 159
  18. ^ a b Nozaki. Kitsune. 25-26
  19. ^ Hall. Half Human. 145
  20. ^ a b c Tyler xlix.
  21. ^ a b c Ashkenazy, Michael. Handbook of Japanese Mythology. Santa Barbara, California: ABC-Clio, 2003. 148
  22. ^ a b Hearn. Glimpses. 155
  23. ^ Nozaki. Kitsune. 95, 206
  24. ^ Heine, Steven. Shifting Shape, Shaping Text: Philosophy and Folklore in the Fox Koan. Honolulu: University of Hawai'i Press, 1999. 153
  25. ^ Hall. Half Human. 144
  26. ^ Hearn. Glimpses. 156-157
  27. ^ Nozaki. Kitsune. 36-37
  28. ^ Nozaki. Kitsune. 26, 221
  29. ^ Nozaki. Kitsune. 59
  30. ^ Nozaki. Kitsune. 216
  31. ^ a b Hearn. Glimpses. 158
  32. ^ Smyers. The Fox and the Jewel. 90
  33. ^ Nozaki. Kitsune. 211
  34. ^ Hearn. Glimpses. 165
  35. ^ Nozaki. Kitsune. 214-215
  36. ^ Haviland, William A. Cultural Anthropology, 10th ed. New York: Wadsworth Publishing Co., 2002. 144-145
  37. ^ Yonebayashi, T. "Kitsunetsuki (Possession by Foxes)". Transcultural Psychiatry 1:2 (1964). 95-97
  38. ^ Nozaki. Kitsune. 183
  39. ^ Nozaki. Kitsune. 169-170
  40. ^ Smyers. The Fox and the Jewel. 112-114
  41. ^ Hall. Half Human. 149
  42. ^ Tyler 299–300.
  43. ^ Smyers. The Fox and the Jewel. 76
  44. ^ Hearn. Glimpses. 153
  45. ^ Smyers. The Fox and the Jewel. 96
  46. ^ Smyers. The Fox and the Jewel. 77, 81
  47. ^ Addiss, Stephen. Japanese Ghosts & Demons: Art of the Supernatural. New York: G. Braziller, 1985. 137
  48. ^ Hall. Half Human. 142
  49. ^ Nozaki. Kitsune. 230
  50. ^ Smyers. The Fox and the Jewel. 98
  51. ^ Hall. Half Human. 137
  52. ^ Tyler 114–5.
  53. ^ Hearn. Glimpses. 159-161
  54. ^ Nozaki. Kitsune. 195
  55. ^ a b Smyers. The Fox and the Jewel. 103-105
  56. ^ Hamel. Human Animals. 90
  57. ^ Hearn. Glimpses. 157
  58. ^ a b Ashkenazy. Handbook. 150
  59. ^ Addiss. Ghosts & Demons. 132
  60. ^ Vaux, Bert. "Sunshower summary". LINGUIST List 9.1795 (Dec. 1998). Kumpulan istilah untuk sun showers dari berbagai kebudayaan dan bahasa. URL diakses 13 Desember 2006.
  61. ^ Hearn. Glimpses. 162-163
  62. ^ Nozaki. Kitsune. 109-124
  63. ^ Nozaki. Kitsune. 110-111
  64. ^ "Ashiya Dōman Ōuchi Kagami" (php). Kabuki21.com. Diakses tanggal 2006-12-12. 
  65. ^ Nozaki. Kitsune. 112-113, 122-123
  66. ^ "Noh synopsis: Sesshoseki". The Mibu-Dera Kyogen Pantomimes. Diarsipkan dari versi asli (html) tanggal 2006-12-31. Diakses tanggal 2006-12-12. 
  67. ^ "Tamamonomae Pantomime". The Mibu-Dera Kyogen Pantomimes. Diarsipkan dari versi asli (html) tanggal 2006-12-31. Diakses tanggal 2006-12-12. 
  68. ^ Nozaki. Kitsune. 114-116
  69. ^ "Yoshinoyama: Yoshitsune Sembon Zakura" (php). Kabuki21.com. Diakses tanggal 2006-12-12. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Addiss, Stephen. Japanese Ghosts & Demons: Art of the Supernatural. New York: G. Braziller, 1985. (hlm. 132-137) ISBN 0-8076-1126-3
  • Ashkenazy, Michael. Handbook of Japanese Mythology. Santa Barbara, California: ABC-Clio, 2003. ISBN 1-57607-467-6
  • Bathgate, Michael. The Fox's Craft in Japanese Religion and Folklore: Shapeshifters, Transformations, and Duplicities. New York: Routledge, 2004. ISBN 0-415-96821-6
  • Hall, Jamie. Half Human, Half Animal: Tales of Werewolves and Related Creatures. Bloomington, Indiana: Authorhouse, 2003. (hlm. 121-152) ISBN 1-4107-5809-5
  • Hamel, Frank. Human Animals: Werewolves & Other Transformations. New Hyde Park, N.Y.: University Books, 1969. (hlm. 88-102) ISBN 0-7661-6700-3
  • Hearn, Lafcadio. Glimpses of Unfamiliar Japan. Project Gutenberg e-text edition, 2005. URL diakses 12 November 2006.
  • Heine, Steven. Shifting Shape, Shaping Text: Philosophy and Folklore in the Fox Koan. Honolulu: University of Hawai'i Press, 1999. ISBN 0-8248-2150-5
  • Johnson, T.W. "Far Eastern Fox Lore". Asian Folklore Studies 33:1 (1974)
  • Nozaki, Kiyoshi. Kitsuné — Japan's Fox of Mystery, Romance, and Humor[pranala nonaktif permanen]. Tokyo: The Hokuseidô Press. 1961.
  • Schumacher, Mark (1995). "Oinari" (html). A to Z Photo Dictionary of Japanese Buddhist & Shinto Deities. Diakses tanggal 2006-12-14. 
  • Smyers, Karen Ann. The Fox and the Jewel: Shared and Private Meanings in Contemporary Japanese Inari Worship. Honolulu: University of Hawaii Press, 1999. ISBN 0-8248-2102-5
  • Tyler, Royall (ed. and trans.) Japanese Tales. New York: Pantheon Books, 1987. ISBN 0-394-75656-8

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]