Revisi UU Polri: 'Perubahan aturan seharusnya fokus hentikan munculnya korban salah tangkap atau kekerasan polisi'

polisi, hukum

Sumber gambar, KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA

Keterangan gambar, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi menggelar demo untuk menolak revisi UU Polri di Jakarta, Minggu (30/06).

Maksud dan urgensi revisi UU Polri yang tengah dilakukan DPR dipertanyakan karena akan memperluas kewenangan kepolisian, dari hak melakukan penyadapan, pemblokiran informasi, hingga operasi intelijen.

Padahal terdapat ribuan kasus dugaan kekerasan, penyalahgunaan kewenangan, dan maladministrasi di kepolisian, yang menurut kelompok advokasi HAM, lebih penting untuk diusut dan dituntaskan.

Keluarga korban salah tangkap berharap DPR dan pemerintah lebih dulu fokus menghentikan pola kesewenang-wenangan polisi "agar tak lagi ada orang tak bersalah yang ditangkap, dipukuli, dan diadili atas perbuatan yang tak mereka lakukan".

Dalam berbagai kesempatan, pimpinan DPR menyebut perubahan UU Polri 2/2002 memang ditujukan untuk menambah fungsi dan kewenangan kepolisian.

Adapun Presiden Joko Widodo tidak menyinggung pembaruan beleid itu saat berpidato pada seremoni peringatan Hari Bhayangkara, Senin (01/07).

Dia berkata, walau citra kepolisian semakin positif di masyarakat, lembaga itu harus menyadari bahwa "masyarakat melihat dari dekat seluruh gerak-gerik dan tindak-tanduk Polri".

'Revisi UU Polri harus hentikan munculnya korban baru'

Muhamad Fikry adalah seorang pemuda di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang pada tahun 2021 ditangkap aparat dari Polsek Tambelang atas tuduhan pembegalan.

Fikry, yang saat itu berstatus mahasiswa dan beraktivitas sebagai guru mengaji, mengaku digebuki hingga babak belur selama delapan jam lalu digertak dengan moncong senjata oleh lima polisi.

Akibat penyiksaan itu, kata Fikry, dia akhirnya mengikuti kemauan para polisi yang menangkapnya.

Proses persidangan hingga tingkat Mahkamah Agung membenarkan klaimnya.

Fikry divonis tidak melakukan pembegalan. Dia adalah korban salah tangkap.

polisi, hukum

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar, Rusin, ayah Muhamad Fikry, memegang surat pengaduan ke Propam Polda Metro Jaya terhadap dua anggota polisi Polsek Tambelang karena diduga melakukan kekerasan pada anaknya.
Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Rusin, ayah Fikry, menyebut keluarga bersama kuasa hukum mereka dari LBH Jakarta telah menuntut ganti kerugian atas seluruh proses yang dilalui anaknya dari penangkapan hingga persidangan.

Gugatan itu juga merujuk temuan Komnas HAM bahwa anggota Polsek Tambelang melakukan 10 bentuk penyiksaan fisik dan delapan kekerasan verbal terhadap Fikry.

Namun pada tahun 2023, pengadilan tidak mengabulkan gugatan ganti kerugian itu. Kepolisian hanya diminta memulihkan nama baik Fikry. Vonis ini, kata Rusin, tak pernah dijalankan kepolisian.

"Sekarang Fikri sudah enggak kuliah. Dia masih trauma, bahkan saat melihat polisi lalu lintas yang enggak ada sangkut pautnya dengan kasusnya," kata Rusin via telepon, Rabu (03/07).

"Dia sekarang sehari-hari hanya di rumah, sambil bekerja, sambil membuat donat untuk dijual," ujarnya.

Rusin berkata, sampai saat ini dia belum bisa merelakan begitu saja berbagai peristiwa yang dihadapi Fikry saat berhadapan dengan kepolisian. Dia berharap, tidak akan ada lagi orang tak bersalah yang ditangkap dan diperlakukan sewenang-wenang.

"Jangan sampai ada Fikry yang lainnya," kata Rusin.

"Untuk perekrutan calon polisi, minimal janganlah pendidikan SMA. Minimal diploma 3, atau sarjana.

"Kalaupun memang syaratnya SMA, pendidikan kepolisiannya ditambah. Misalnya, selama satu atau dua tahun ada edukasi tentang hak asasi manusia. Digenjot di situ, bagaimana cara cara menangani manusia," ujar Rusin.

'Berpotensi menambah persoalan'

Harapan Rusin agar tak ada lagi korban salah tangkap tidak terakomodasi dalam proses revisi UU Polri, setidaknya jika merujuk draf terbaru yang disusun oleh DPR.

Ini dikatakan Ardi Manto Adiputra, Wakil Direktur Imparsial, sebuah lembaga sipil yang mengadvokasi perlindungan HAM.

"Draf revisi UU Polri yang beredar saat ini tidak berangkat dari evaluasi atau permasalahan terkait dengan kinerja kepolisian," kata Ardi.

Ardi menyebut sejumlah persoalan besar yang semestinya menjadi fokus pembenahan kepolisian, antara lain praktik penyiksaan dan kekerasan "yang membudaya kuat" dan "akuntabiitas yang rendah" terkait penanganan perkara.

Dua permasalahan lain yang disebut Ardi adalah "impunitas" terhadap polisi yang terlibat perkara pidana serta independensi Polri dari politik.

Melibatkan publik, terutama keluarga korban kesewenang-wenangan kepolisian, disebut Ardi sebagai langkah yang harus ditempuh DPR dan pemerintah jika ingin mengubah UU Polri.

"Masukan dan kritik dari publik harus diutamakan, salah satunya dari korban atau keluarga korban yang pernah terdampak kinerja kepolisian yang salah atau lalai," kata Ardi.

"Ini penting untuk dilakukan untuk mengevaluasi dan mencari alternatif solusi bagi berbagai persoalan di kepolisian," tuturnya.

hukum, polisi

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar, Wakapolri Komjen Pol Agus Andrianto (tengah) bersama pimpinan Polri lainnya mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, 11 Juni 2024.

Dalam catatan Kontras, dalam rentang Juli 2020 hingga April 2024 terdapat 2.148 dugaan kekerasan yang dilakukan polisi di berbagai wilayah Indonesia. Angka itu merujuk dugaan pelanggaran dalam hal penembakan, penganiayaan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, kejahatan seksual, hingga pembunuhan di luar putusan pengadilan.

Sementara dalam catatan Komnas HAM, pada tahun 2023 kepolisian merupakan lembaga yang paling banyak diadukan publik terkait kasus dugaan pelanggaran HAM.

Dari 2.753 aduan yang diterima Komnas HAM, 771 aduan di antaranya menyangkut kepolisian.

Baca juga:

Tren serupa juga dicatat Ombudsman. Sejak 2020 hingga 2023, kepolisian adalah lembaga yang paling sering diadukan ke Ombudsman.

Tidak seluruh aduan dan dugaan pelanggaran itu masuk dan terbukti ke pengadilan.

Pada Juni 2023, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut institusinya memang disorot atas sejumlah hal negatif.

"Yang harus diperbaiki pertama adalah masalah pungli. Ini masih melekat di benak masyarakat, ini yang harus diperbaiki," ucap Sigit pada 21 Juni 2023, dalam seremoni wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian.

"Bergaya hidup berlebihan, sewenang-wenang, mencari-cari kesalahan. Inilah persepsi yang ada di masyarakat, yang tentunya menjadi tugas kita semua, khususnya kalian di garis terdepan untuk mengubah fenomena yang ada ini," ujar Sigit.

Dia meminta agar bawahannya "mempertahankan yang baik" dan menghindarkan diri dari "hal-hal yang harus diperbaiki".

hukum, polisi

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar, Polisi menilang pengendara sepeda motor di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (19/06).

Apa saja perubahan pasal UU Polri yang menuai polemik?

Koalisi lembaga masyarakat sipil, yang dibentuk antara lain oleh Imparsial, Kontras, YLBHI, ICW, dan Elsam, mempertanyakan 10 pengaturan baru dalam draf revisi UU Polri.

Pasal mengenai penyadapan, kata mereka, semestinya tidak diatur dalam UU Polri, melainkan disusun dalam undang-undang khusus tentang penyadapan, sebagaimana direkomendasikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan tahun 2012.

Pasal lain terkait kewenangan Polri untuk "mengamankan, membina, dan mengawasi" ruang siber. Kewenangan ini disebut semestinya didasarkan pada izin ketua pengadilan negeri agar polisi tidak sewenang-wenang membatasi hak warga atas informasi dan komunikasi.

Kewenangan lain yang dipersoalkan menyangkut "penggalangan intelijen demi kepentingan nasional". Selain berpotensi melebihi kewenangan lembaga intelijen lainnya, tanpa definisi yang jelas mengenai istilah kepentingan nasional, kepolisian dicemaskan akan memanfaatkan kewenangan itu secara berlebihan dan mengarah ke pelanggaran hak warga.

Baca juga:

Revisi UU Polri juga berencana memberi kewenangan kepolisian untuk membina "pasukan pengamanan masyarakat". Koalisi masyarakat sipil menyebut kewenangan ini berpotensi memunculkan kembali peristiwa kekerasan sepanjang Reformasi 1998 dan memberi hak Polri untuk "berbisnis keamanan".

Satu hal besar yang dipertanyakan koalisi masyarakat sipil adalah tidak adanya perkuatan mekanisme pengawasan bagi polisi.

Padahal, menurut mereka, revisi UU Polri semestinya memberi kewenangan kepada Komisi Kode Etik Kepolisian dan Kompolnas untuk menjatuhkan sanksi untuk polisi yang melakukan pelanggaran.

Apa kata DPR?

Revisi UU Polri pada Mei lalu secara resmi berstatus inisiatif DPR. Akhir Mei lalu, Wakil Ketua MPR Yandri Susanto menyebut lembaganya ingin segera menuntaskan proses revisi itu.

"Diharapkan revisi ini bisa memberikan landasan hukum yang lebih baik sebagai upaya peningkatan pelaksanaan fungsi, peran, tugas dan wewenang Polri," kata Yandri saat itu.

Juni lalu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut lembaganya juga akan membahas mekanisme pengawasan terhadap pengawasan Polri. Perkataan itu dikeluarkannya untuk merespons kecemasan publik.

"Iya tentunya nanti kami akan buat mekanisme pengawasan yang lebih kuat," kata Dasco di Gedung DPR, Jakarta, 4 Juni lalu.