Mengapa orang tua Afif Maulana klaim kematian anaknya karena disiksa polisi di Sumbar?

Afif Maulana

Sumber gambar, Ari Saputra/Detikcom

Keterangan gambar, Ibu mendiang Afif Maulana, Anggun Andriani (tengah) menunjukkan foto anaknya saat berulangtahun ke-13 usai mendatangi kantor Komnas HAM di Jakarta, Senin (01/07).

Hasil penyelidikan polisi kembali menegaskan bahwa kematian Afif Maulana, bocah 13 tahun di Padang, Sumatra Barat, diduga akibat meloncat ke sungai dan bukan disiksa oleh polisi. LBH Padang menganggap pernyataan polisi ini terlalu tergesa-gesa dan makin menguatkan "kecurigaan" bahwa ada upaya menutup-nutupi kasus ini.

"Intinya kami tidak menerima 'penutupan' kasus tersebut," kata Direktur LBH Padang, Indira Suryani, dalam keterangan tertulis kepada wartawan Halbert Chaniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (01/07).

"Dari awal kecurigaan kami akan ada upaya menutupi sudah terbukti," tambahnya.

Seperti diketahui, seorang bocah berusia 13 tahun, Afif Maulana, ditemukan meninggal dunia pada 9 Juni lalu lalu di bawah Jembatan Kuranji, Kecamatan Kuranji, Kota Padang.

Polisi sejak awal berkukuh korban meninggal akibat jatuh ke sungai, sementara keluarga korban dan LBH Padang yakin sang anak meninggal akibat disiksa polisi.

Dihubungi secara terpisah, advokat publik di LBH Padang, Decthree Ranti Putri, mengatakan pihaknya tetap meyakini bahwa korban meninggal diduga karena disiksa anggota kepolisian.

"Kami juga sudah mengantongi setidaknya dua orang saksi yang melihat Afif dikerumuni kepolisian di dekat jembatan. Saksi kedua melihat korban berada di kantor polisi," kata Decthree kepada BBC News Indonesia, Senin (01/07) siang.

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Dalam keterangannya kepada pers pada hari Minggu (30/06), Kapolda Sumatra Barat, Irjen Suharyono, mengatakan Afif Maulana meninggal dunia akibat melompat ke sungai dari ketinggian sekitar 12 meter.

Suharyono mengeklaim hasil penyelidikan ini didasarkan keterangan saksi-saksi, hasil visum, serta autopsi atas korban.

Menurutnya, tim penyidik telah memeriksa setidaknya 49 orang saksi yang sebagian besar anggota polisi. Di antaranya ada seseorang yang diklaim polisi sebagai saksi kunci dan teman korban.

"Kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan dinyatakan bahwa korban ini memang melompat dari atas Jembatan Kuranji," kata Suharyono.

Bagaimanapun, Direktur LBH Padang Indira Suryani mengatakan sikap polisi ini terlalu tergesa-gesa.

"Sikap tergesa-gesa penyidik sangat aneh bin ajaib," kata Indira.

Untuk itulah, pihaknya akan terus melakukan advokasi agar dilakukan penyelidikan independen atas kasus ini.

Salah-satu upayanya, menurut advokat publik di LBH Padang, Decthree Ranti Putri, pihaknya telah mendesak Komnas HAM agar mengusutnya secara mandiri.

Pada Senin (01/7), keluarga Afif Maulana telah mendatangi Komnas HAM di Jakarta.

Afif Maulana, Kapolda Sumbar

Sumber gambar, Halbert Chaniago

Keterangan gambar, Kapolda Sumatra Barat Irjen Suharyono dalam jumpa pers menjelaskan penyebab kematian bocah 13 tahun Afif Maulana.

Benarkah korban meloncat ke sungai dan meninggal dunia?

Polisi mengeklaim mereka memiliki bukti bahwa korban meninggal dunia setelah meloncat ke sungai dari ketinggian sekitar 12 meter.

Kapolda Sumbar, Irjen Suharyono, mengatakan bukti itu adalah keterangan seseorang yang disebut polisi sebagai teman korban berinisial A.

"Kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan dinyatakan bahwa korban ini memang melompat dari atas Jembatan Kuranji," katanya dalam jumpa pers di Padang, Minggu (30/06).

Aparat polisi, menurutnya, sedang berusaha membubarkan tawuran saat mereka melihat Afif Maulana dan A naik motor.

Polisi mengeklaim keduanya terlibat dalam tawuran itu, walaupun keluarga korban dalam keterangan sebelumnya telah membantahnya.

Suharyono mengaku petugasnya menendang motor yang dikendarai korban dan A. Mereka kemudian disebutkan terjatuh di jalan raya.

penyiksaan polisi

Sumber gambar, Dok. Anggun Anggraini

Keterangan gambar, Afif Maulana.

Keterangan saksi A kepada polisi, demikian klaim Suharyono, mengaku diajak oleh Afif untuk loncat dari jembatan. Belakangan terbukti A menolak ikut meloncat, kata polisi.

Suharyono tidak menjelaskan apakah ada saksi yang melihat langsung terhadap apa yang diklaimnya bahwa Afif meloncat ke sungai.

Inilah yang kemudian diprotes LBH Padang melalui advokat publik, Decthree Ranti Putri.

Dia menganggap kesimpulan polisi bahwa korban meninggal lantaran meloncat ke sungai hanya bersandar kepada hasil visum dan outopsi semata "tidaklah etis dan tidak bermoral".

"Hasil keterangan dokter forensik bahwa korban terjatuh, tergelincir, terus kenapa hanya dengan keterangan seperti itu mendisclaimer bahwa korban tidak dibunuh?" ujar Ranti Putri kepada wartawan di Padang, Halbert Chaniago, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (01/07) .

Sebelumnya, Suharyono membeberkan apa yang disebutnya sebagai hasil visum dan outopsi terhadap jenazah Afif yang ditemukan di bawah Jembatan Kuranji.

Dari visum luar yang dilakukan, menurutnya, terlihat luka goresan-goresan.

"Luka goresan ini kemungkinan karena terjatuh dari sepeda motor saat ditendang personel itu dan juga luka akibat melompat dari atas jembatan," katanya.

Selain luka goresan, pernyataan dari dokter forensik juga menyatakan adanya patah tulang, katanya.

"Ada patah tulang pada tulang punggung nomor satu sampai enam enam sentimeter yang mengakibatkan luka pada paru-paru sepanjang 11 sentimeter," lanjutnya.

Afif Maulana, Anggun Anggraini

Sumber gambar, Halbert Chaniago

Keterangan gambar, Anggun Anggraini tak kuasa menahan tangis saat menunjukkan foto putranya, Afif Maulana yang diduga disiksa anggota polisi sebelum akhirnya ditemukan meninggal.

Menurut Suharyono, patah tulang dan luka robek di paru-paru tersebut diduga penyebab kematian korban.

LBH Padang tidak dapat menerima keterangan Kapolda Sumbar ini. Decthree Ranti Putri mengatakan, pihaknya tetap meyakini bahwa korban meninggal diduga karena disiksa anggota kepolisian.

"Kami juga sudah mengantongi setidaknya dua orang saksi yang melihat Afif dikerumuni kepolisian di dekat jembatan. Saksi kedua melihat korban berada di kantor polisi," kata Ranti kepada wartawan Halbert Chaniago kepada BBC News Indonesia, Senin (01/07) siang.

Alasan lain yang membuat keluarga meyakini Afif meninggal karena diduga disika polisi, menurutnya, luka lebam di sekujur tubuh korban. "Ini luka-luka yang tidak wajar," katanya.

Suharyono menepis adanya pernyataan yang menyatakan bahwa Afif Maulana disiksa oleh personel Kepolisian saat diamankan di atas Jembatan Kuranji.

"Untuk menganiayaan di atas Jembatan Kuranji itu tidak ada. Yang dikerumuni dan diamankan oleh polisi saat di atas Jembatan Kuranji itu hanya [saksi] A, Afif Maulana tidak ada," katanya.

penyiksaan polisi

Sumber gambar, Dok. LBH Padang

Keterangan gambar, Afrinaldi (36, kanan) dan Anggun (32) berfoto dengan potret Afif Maulana (13), di kantor LBH Padang, Kota Padang, Sumatera Barat.

Mengapa CCTV di markas polsek tidak bisa diakses?

Tentang kamera tersembunyi (CCTV) di Markas Polsek Kuranji di Kota Padang "yang tidak diakses", Kapolda Sumbar Irjen Suharyono mengeklaim itu lantaran "memori CCTV yang terbatas".

Rekaman CCTV ini menjadi penting karena bisa dijadikan alat bukti apakah korban Afif berada di sana, seperti diklaim seorang saksi kepada LBH Padang.

Suharyono mengeklaim rekaman pada tanggal 9 Juni 2024 tidak lagi menyimpan kejadian pada tanggal 9 Juni tersebut.

Menurutnya, rekaman kejadian pada tanggal 9 Juni tersebut tidak lagi bisa diakses karena penyimpanan memori CCTV yang terbatas.

"Untuk memori penyimpanan CCTV di Mapolsek itu hanya sebesar 1 TB dan itu hanya bisa menyimpan rekaman selama 11 hari atau paling lama dua minggu," katanya.

Ia mengeklaim bahwa pemeriksaan CCTV Polsek Kuranji dilakukan pada tanggal 23 Juni 2024 dan tidak lagi ditemukan adanya rekaman pada tanggal 9 Juni tersebut.

"Rekaman terakhir yang ditemukan oleh tim IT saat pengecekan CCTV hanya pada tanggal 13, yaitu 4 hari setelah kejadian. Sementara untuk rekaman tanggal 9 itu sudah terhimpit oleh rekaman yang baru," katanya.

Ia menepis pernyataan bahwa CCTV Polsek Kuranji rusak dan tidak bisa diakses sama sekali, sehingga ada tudingan polisi berupaya menghilangkan bukti.

Keterangan Suharyono tentang CCTV di Polsek Kuranji ini pula yang dipertanyakan advokat publik di LBH Padang, Decthree Ranti Putri.

"Kita menduga rekaman CCTV itu ditiadakan [oleh polisi]," kata Ranti.

"Sehingga polisi tidak mau mengungkapkan karena dia tahu siapa pelakunya," tambahnya.

Afif Maulana

Sumber gambar, LBH Padang

Keterangan gambar, Aksi keprihatinan mempertanyakan langkah kepolisian dalam menyelidiki kematian bocah 13 tahun Afif Maulana.

Kejanggalan kematian bocah 13 tahun yang diduga disiksa polisi

Sebelumnya, kematian Afif Maulana, bocah 13 tahun di Padang, Sumatra Barat telah membetot perhatian publik, termasuk sejumlah lembaga negara.

Kepolisian membantah Afif disiksa anggota polisi sebelum meninggal di tengah pemeriksaan 39 personil yang terlibat dalam insiden pembubaran tawuran. Namun, hal ini bertolak belakang dari sikap tim advokat LBH Padang dan pihak keluarga korban yang meyakini Afif mengalami penyiksaan sebelum meninggal.

Dalam keterangan terbaru, Kamis (27/06) kepolisian Sumatra Barat melaporkan sebanyak 17 anggota polisi diduga terbukti melanggar prosedur standar operasi atau SOP dalam penangkapan belasan anak dan pemuda dalam insiden pembubaran tawuran.

KontraS mencatat kasus kekerasan dan penyiksaan oleh anggota polisi tidak bergeming dalam tiga tahun terakhir, mencapai 600-an kasus. Menurut mereka, hal ini dikarenakan budaya kekerasan di kepolisian termanifestasi dalam tugas-tugas polisi di lapangan, termasuk pengawasan yang lemah.

Kasus dugaan penyiksaan oleh anggota polisi yang berulang juga telah mendorong wacana menempelkan kamera pada personil kepolisian saat menjalani tugas.

penyiksaan polisi

Sumber gambar, Dok. Anggun Anggraini

Keterangan gambar, Afif Maulana saat merayakan ulang tahun yang ke-13 Maret lalu. Menurut ibunya, Afif sempat minta dibelikan kue ulang tahun.

Kapolda Sumatra Barat, Suharyono mengatakan 17 anggotanya diduga terbukti melanggar prosedur standar operasi atau SOP dalam insiden pencegahan tawuran di Padang, Minggu dini hari (09/06).

"Sebanyak 17 anggota (polda) diduga terbukti memenuhi unsur. Kami sedang mencari obyeknya. Kalau anggotanya dan apa yang dilakukannya, sudah saya sampaikan, ancaman hukumannya sudah ada,” kata Suharyono, Kamis (27/06), seperti dikutip Kompas.id.

Ia menambahkan, proses hukum terhadap 17 anggota polisi sedang dalam pemberkasan, termasuk memastikan tindakan mereka saat memeriksa 18 anak dan pemuda di Polsek Kuranji pada Minggu (09/06).

Namun, Suharyono tidak menjelaskan rinci bentuk pelanggaran yang dilakukan belasan anak buahnya itu terhadap 18 anak dan pemuda yang ditangkap. Ia hanya menyebut 17 anak buahnya melanggar kode etik atau tidak sesuai SOP dalam mengamankan dan melakukan pemeriksaan.

"Kami sudah umumkan 17 anggota kami akan disidangkan, apakah nanti sidang komisi kode etik atau pidana, nanti kelanjutannya," katanya.

Dalam keterangan yang sama, Suharyono juga mengklaim tidak ada nama Afif Maulana dari 18 anak dan pemuda yang ditangkap.

Anggun Anggraini, 32 tahun, tak kuasa menahan bulir air mata saat foto jenazah putranya ditampilkan dalam konferensi pers yang diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Senin (24/06).

Dari foto yang ditampilkan, terdapat luka lebam di hampir sekujur tubuh putra sulungnya, Afif Maulana, 13 tahun. Luka yang merah membiru itu terdapat di bagian punggung dan rusuk kiri bagian belakang. Bagian depan jenazah juga terdapat lebam yang sama pada perut bagian kiri dan tulang rusuk.

“Dekat perut yang hijau. Kayak jejak sepatu. Jejak sepatu ditendang. Terus tangan ini kan di sini habis kena kayak pukul… Terus ada di bagian belakang sini. Itu menguatkan keluarga bahwa ada tindak penyiksaan,“ kata Anggun kepada wartawan Halbert Chaniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Ibu dua anak ini juga tidak terima anaknya yang “masih lugu” disebut akan ikut tawuran.

“Anak Anggun sekecil itu nggak mungkin dia tawuran. Dia saja pulang sekolah di rumah. Lebih banyak dia di kamar,” ucap Anggun sambil berusaha menahan air matanya.

Konferensi pers yang diselenggarakan LBH Padang ini sebagai respons pernyataan kepolisian Sumatra Barat. Pihak Polda Sumbar menyebut tidak ada saksi mata yang melihat Afif disiksa oleh anggota polisi, serta kemungkinan Afif melompat dari jembatan.

“Ingat Polda Sumbar, di tubuh Afif itu ada kekerasan. Ada kekerasan. Itu tidak bisa dibohongi. Di situ ada kekerasan dan Anda harus cari. Penyidik, Anda harus cari siapa, apa yang menyebabkan kekerasan itu muncul di tubuh anak kami, Afif Maulana,” kata Direktur LBH Padang, Indira Suryani dengan suara bergetar.

Indira meyakini beberapa luka di tubuh Afif merupakan “fakta meyakinkan” bukti terjadi penyiksaan.

Selain itu, LBH Padang juga mengklaim telah mendengarkan kesaksian dari tujuh korban lainnya (lima berstatus anak dan dua berusia 18 tahun) yang ditangkap polisi pada hari kejadian.

Dari keterangan mereka, Indira mengatakan anggota polisi diduga melakukan penyiksaan dengan berbagai cara termasuk mencambuk, menyetrum, memukul dengan rotan, sampai menyundut rokok kepada korban saksi.

penyiksaan polisi

Sumber gambar, Halbert Chaniago

Keterangan gambar, Direktur LBH Padang, Indira Suryani (kanan) saat memberikan keterangan pers sebagai respons atas sikap Polda Sumbar atas kematian Afif Maulana.

BBC News Indonesia juga melihat foto-foto bagian tubuh korban-korban saksi yang ditampilkan oleh LBH Padang. Dari foto tersebut terdapat bekas luka yang diduga terkena sabetan keras, sundutan rokok berkali-kali, dan luka di lutut karena diduga terjatuh dari motor.

“Yang berikutnya, justru yang mungkin menguatkan (keyakinan) kami, respons Polda yang kemudian menurut kami kontraproduktif dan memburu orang-orang yang memviralkan, itu menjadi sebuah pertanyaan bagi kami. Semakin menguatkan kami bahwa ada sesuatu yang sangat salah di situ,” tambah Indira.

Hal ini merujuk pada pernyataan Kapolda Sumbar, Suharyono yang mengatakan akan memburu pihak-pihak yang memviralkan kematian Afif Maulana karena dugaan disiksa polisi, seperti dikutip Kompas.id.

Selain itu, kejanggalan lain yang ditemukan LBH Padang adalah ketika pihak keluarga tidak diizinkan untuk mengikuti pemeriksaan jasad korban, serta CCTV di dekat lokasi kejadian dilaporkan tidak berfungsi.

“Semoga justice for Afif benar-benar terwujud di Indonesia ini,” kata Indira.

penyiksaan polisi

Sumber gambar, LBH Padang

Keterangan gambar, Salah satu foto yang ditunjukkan LBH Padang pada korban saksi yang diduga menerima penyiksaan oleh anggota polisi.

Polisi: Jatuh dari jembatan, ‘luka lecet-lecet’

Di sisi lain, Kepala divisi humas Polda Sumbar, Kombes Pol Dwi Sulistyawan mengeklaim bahwa Afif terjatuh dari jembatan saat pencegahan tawuran terjadi. Luka yang ada pada tubuhnya disebut sebagai “lecet-lecet”.

“Ya itu luka-lukanya itu lecet-lecet. Kemungkinan dia waktu terjatuh di bawah itu kan, kan kita nggak tahu. Apakah korban ini jatuhnya langsung meninggal, apa langsung merayap-merayap, minta tolong. Kan kita nggak tahu,” katanya.

Dwi Sulistyawan menambahkan, Afif tidak ditangkap polisi. "Yang lain diamankan cuma 18 dari kurang lebih 40 orang. Jadi kejadiannya cepat,” katanya.

Baca Juga:

Saat dikonfirmasi terkait dengan tujuh saksi yang memberi laporan pada LBH Padang mengenai dugaan penyiksaan selama proses penahanan, Dwi Sulistyawan mengatakan belum menemukan indikasinya.

Dwi menambahkan, sejauh ini divisi profesi dan pengamanan (propam) masih memeriksa 39 anggota polisi yang diduga terlibat dalam insiden ini. "39, ya masih diperiksa,” katanya.

Bagaimana kronologi versi LBH Padang?

Minggu, 09 Juni 2024

Pukul 04.00 WIB – Afif sedang berboncengan sepeda motor dengan rekannya berinsial A, menuju utara.

Afif dan rekannya ditendang anggota Sabhara Polda Sumbar menggunakan motor dinas berjenis KLX. Saat terpelanting, Afif berjarak dua meter dengan rekannya A.

Korban A sempat melihat Afif berdiri dan dikelilingi anggota polisi yang memegang rotan. Hingga saat itu, korban A tidak pernah lagi melihat Afif.

Pukul 10.00 WIB – A dan korban-korban lainnya dibolehkan pulang ke rumah masing-masing dari Polda Sumbar, dengan perjanjian tidak melakukan kesalahan yang sama (berdasarkan keterangan polisi diduga mereka yang ditangkap karena merencanakan tawuran).

Pukul 11.55 WIB – Warga menemukan mayat di bawah jembatan aliran Batang Kuranji, Jalan By Pass KM 9, Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang. Mayat tersebut diidentifikasi sebagai Afif Maulana. Dari jenazahnya terdapat sejumlah luka.

Jenazah Afif dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk dilakukan pemeriksaan.

Senin, 10 Juni 2024

Keluarga korban menerima salinan sertifikat kematian Nomor: SK/34/VI/2024/ dari Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sumbar. Namun, pemeriksaan jenazah belum menentukan kematian tidak wajar yang dialami Afif.

Di sisi lain, keluarga korban mendapatkan informasi dari seorang anggota Polres Kota Padang, bahwa korban Afif meninggal akibat tulang rusuk patah enam buah dan robek dibagian paru-paru 11 sentimeter. Orang tua Afif membuat laporan polisi ke Polresta Padang dengan Nomor: LP/B/409/VI/2024/SPKT/POLRESTA PADANG/POLDA SUMATERA BARAT.

penyiksaan polisi

Sumber gambar, Dok. Anggun Anggraini

Keterangan gambar, Afif Maulana diceritakan ibunya gemar bermain sepak bola. Ia bercita-cita menjadi pelayar.

Temuan lain LBH Padang

  • Polisi juga diduga menyiksa lima anak dan dua orang dewasa (berumur 18 tahun) yang menyebabkan luka-luka. Mereka mendapatkan penyiksaan berupa dicambuk, disetrum, dipukul dengan rotan, diseruduk motor, serta mendapatkan sulutan rokok di tubuh korban. “Bahkan ada keterangan yang kami dapatkan, adanya kekerasan seksual berupa memaksa ciuman sejenis,” kata Direktur LBH Padang, Indira Suryani dalam keterangannya.
  • Selama proses penahanan di Polsek Kuranji, A mengaku ditendang dua kali di bagian muka, di sentrum serta diancam apabila melaporkan kejadian yang dialami maka akan ditindaklanjuti.
  • Saat A dan korban-korban lainnya dibawa ke Polda Sumbar, mereka disuruh jalan jongkok dan berguling-guling sampai muntah, kalau belum muntah belum boleh berhenti.

Bagaimana kronologi versi kepolisian?

Minggu, 09 Juni 2024

Pukul 03.00 WIB – Ada rombongan anak-anak muda konvoi melintasi Jembatan Kuranji. Di situ terlihat membawa berbagai macam senjata tajam.

Saat rekan Afif yaitu A ditangkap - ia sempat mendengar kalimat dari Afif yang isinya mengajak A untuk melompat.

Samapta Polda Sumbar mengamankan 18 orang ke Polsek Kuranji. Tidak ada nama Afif Maulana di situ.

Dari 18 orang yang ditangkap, yang terbukti membawa senjata tajam satu orang. Ini sedang diproses. 17 orang kemudian dikembalikan lagi ke keluarganya.

Polisi menemukan senjata-senjata lain berserakan di lokasi, "sehingga tidak bisa diketahui siapa pemilknya," kata Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Padang AKBP Rully Indra Wijayanto.

penyiksaan polisi

Sumber gambar, M. Afdal Afrianto/detikSumut

Keterangan gambar, Kapolda Sumbar, Ijen Suharyono.

Siang

Kepolisian mendapat laporan masyarakat adanya sesosok mayat anak-anak yang belum diketahui identitasnya. Belakangan diketahui mayat tersebut adalah Afif Maulana.

Dalam satu keterangan kepada media, Kapolda Sumbar, Irjen Pol Suharyono menduga Afif Maulana terjun dari jembatan saat ada pengamanan aksi tawuran. Hal itu berdasarkan keterangan dari A, rekan memboncengi Afif.

"Masuk ke sungai ini sudah ada keterangan dari A. Bahwa memang AM (Afif Maulana) ini sudah berencana akan masuk ke sungai menceburkan diri ke sungai," kata Suharyono seperti dikutip dari Kompas.

Perlu pengawasan pihak independen

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menilai publik akan sulit percaya dengan keterangan polisi karena adanya konflik kepentingan di dalamnya.

“Bagaimana publik bisa mempercayainya bila yang menyampaikan pernyataan adalah pihak yang diduga melakukan penganiayaan dan menjadi penyebab kematian atau penyebab AM (Afif Maulana) melompat ke sungai?” katanya bertanya-tanya.

Selama masih dalam proses penyelidikan atas kematian Afuf, ia berharap kepolisian tidak mengambil kesimpulan cepat.

“Kasus seperti itu sudah seringkali terjadi, dan korban meninggal menjadi double victim dengan pernyataan tersebut, bila tidak benar.”

“Makanya perlu pihak independen untuk melakukan penyelidikan dan klarifikasi bahwa kejadian yang disampaikan oleh kepolisian tersebut benar atau salah,” kata Bambang.

Sejumlah lembaga negara turun tangan

Di sisi lain, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bersama lembaga negara lainnya "berkolaborasi" untuk memantau proses penyelidikan kasus kematian Afif.

Mereka yang terlibat di dalamnya adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Ombudsman, termasuk LBH Padang.

“Semua komisi negara setuju untuk kolaborasi dalam penanganan kasus anak korban,” kata anggota Kompolnas, Poengky Indarti dalam keterangan kepada BBC News Indonesia, Senin (24/06).

Dalam hal ini, baik Kompolnas, KPAI, LPSK, Ombudsman, dan LBH Padang berencana memantau langsung gelar perkara kematian Afif di Polda Sumbar – meskipun waktunya belum diputuskan.

“Tentunya setelah hasil autopsi keluar,” tambah Poengky.

penyiksaan polisi

Sumber gambar, Ari Saputra/detikcom

Keterangan gambar, Anggota Kompolnas Poengky Indarti.

Sejauh ini, Kompolnas mengeklaim telah mengirim surat permintaan klarifikasi ke Polda Sumatra Barat. Poengky Indarti mengatakan, pihaknya mendorong “pemeriksaan profesional dan komprehensif dengan dukungan scentific crime investigation (penyelidikan dengan bukti ilmiah)”.

Kompolnas merekomendasikan proses pidana dengan pemberatan hukuman, sidang etik dan pemecatan bagi anggota polisi yang terbukti melakukan penyiksaan dan mengakibatkan Afif meninggal.

“Jika benar anggota melakukan penyiksaan yang berakibat hilangnya nyawa anak korban, maka hal tersebut masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan ke dalam UU Anti Penyiksaan, sehingga praktek penyiksaan harus dihapuskan (zero tolerance against torture),” tambah Poengky.

Sebaliknya, jika tidak terbukti, maka penyelidik kepolisian harus mencari tahu penyebab Afif meninggal dunia dengan didukung bukti-bukti ilmiah. “Sehingga tidak menimbulkan pertanyaan publik,” katanya.

Baca Juga:

Lembaga yang bertugas memberi arah kebijakan kepolisian pada presiden ini juga mendorong tindaklanjut pemeriksaan kepada anggota polisi yang diduga menyiksa beberapa saksi yang berstatus anak.

“Upaya penertiban harus dilakukan secara humanis dan tidak menggunakan kekerasan berlebihan, apa lagi terhadap anak-anak,” tambah Poengky.

Bukan sekali dua kali

Pengamat kepolisian Bambang Rukminto menyoroti kelakuan sebagian anggota polisi dalam menangani perkara anak. Menurutnya, tidak semua polisi "melek soal hak anak”, sehingga perilakunya dalam penanganan perkara yang melibatkan anak menjadi "tak menghargai hak anak-anak”.

"Kepolisian juga harus memahami bahwa kenakalan remaja bisa jadi juga merupakan produk lingkungan sosial. Makanya semangat humanis kepolisian harusnya tetap mengedepankan empati pada terduga anak-anak pelaku tidak tertib sosial,” katanya.

Bagaimanapun, dugaan penyiksaan terhadap Afif di Padang ini menambah daftar panjang tuduhan terhadap polisi yang kurang profesional dalam menjalankan tugasnya. BBC News Indonesia merangkum sejumlah kasus dugaan penyiksaan oleh anggota polisi yang sempat menjadi perhatian publik.

garis

Saka Tatal salah satu mantan narapidana kasus pembunuhan Vina Cirebon belum lama ini mengaku mendapat pukulan, setruman, dan paksaan oleh polisi agar mau mengaku bersalah dalam proses hukumnya.

Ia mengatakan sebagai “korban salah tangkap” dan menyatakan "tidak ada di tempat kejadian”. Kasusnya sudah diaporkan ke Komnas HAM dan Komisi Yudisial pada 2016 – saat ini kembali diperiksa Komnas HAM.

Terakhir, Saka mengutarakan kasusnya dalam saluran YouTube pesohor Uya Kuya. "Di badan diinjak-injak, dipukuli, kepala saya diadu dengan gembok panjang sampai bocor.”

Polisi menangkis narasi ini dengan menyebut Saka Tatal cenderung berbohong saat diperiksa penyidik enam tahun silam, seperti dikutip Kompas.

Seorang pria berusia pertengahan 20 tahun mengaku digebuki hingga delapan jam oleh lima polisi. Ia bersama tiga kawannya dipaksa mengaku sebagai begal pada 2021.

Lukman – bukan nama sebenarnya – diputus bebas dan tidak bersalah dalam putusan banding, setelah sembilan bulan mendekam dipenjara.

Kasus yang pernah mencuat adalah kematian Herman di Balikpapan, Kalimantan Timur pada 2020 dan Deki Susanto di Solok Selatan, Sumatra Barat pada 2021.

Herman tewas disiksa selama dalam tahanan setelah dituduh mencuri telepon genggam, sementara Deki kepalanya pecah dihantam timah panas saat hendak ditangkap karena dituduh terlibat judi.

Perkara pidana apa yang disebut sebagai extrajudicial killing terhadap Deki Susanto melibatkan enam polisi terperiksa, dan salah satunya dijadikan tersangka.

Lalu, kasus kematian Herman membuat lima polisi divonis bersalah dengan hukuman tiga tahun penjara, dan seorang polisi divonis satu tahun penjara. Tiga di antara mereka mengajukan banding.

Ganti Akmal menghembuskan napas terakhir setelah kepalanya dipukuli dengan balok. LBH Padang melaporkan mayat pria yang dituduh polisi melakukan eksploitasi sekual anak ini penuh dengan luka. Luka lebam di kepala dan wajah, pergelangan tangan diduga patah, pendarahan di telinga dan luka memar di kepala.

Kasusnya sempat dihentikan Polda Sumbar karena "tidak cukup bukti”, tapi pengadilan memutuskan sebaliknya: lanjutkan penyelidikan. Dalam proses rekonstruksi, seorang anggota polisi berinisial HA disebut mengakui memukul kepala korban.

Sejumlah pria mengaku mendapat penyiksaan oleh anggota polisi di Yogyakarta agar mengaku sebagai pelaku kejahatan jalanan ‘klitih’ atau pembegalan.

“Saya ditangkap jam 12.30, lalu [mata] saya diplester, lalu dipukuli sampai pagi,” kata seorang pria yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa. Ia mengeklaim dipaksa mengaku kesalahan yang tak dia lakukan.

Terdakwa lain mengaku dipukul bagian perut dan dada, dan ditodong senjata api agar mengaku sebagai pelaku pembunuhan.

Namun, putusan pengadilan berkata lain. PN Yogyakarta memutus keduanya bersalah dan divonis enam tahun penjara. Pihak pengacara mengajukan banding, karena yakin kedua kliennya tidak terlibat kasus pembunuhan itu.

garis

Berdasarkan catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) periode Januari – Juni 2024 terdapat 308 peristiwa kekerasan yang diduga dilakukan anggota polisi meliputi penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, extrajudicial killing, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Angka ini menunjukkan setiap harinya lembaga ini mencatat dua kasus.

Dalam tiga tahun terakhir lembaga ini juga melaporkan ratusan kasus dugaan kekerasan oleh anggota polisi, yaitu 2021 (651 kasus), 2022 (677 kasus), dan 2023 (622 kasus).

“Masih tingginya angka-angka kekerasan atau penyiksaan ini kami tengarai oleh beberapa faktor di antaranya masih dinormalisasinya atau masih kentalnya budaya kekerasan di institusi kepolisian yang pada akhirnya budaya tersebut juga terbawa ke ranah-ranah sipil,” kata Staf Divisi Hukum KontraS, Muhammad Yahya Ihyaroza.

penyiksaan polisi

Sumber gambar, Dok. Keluarga

Keterangan gambar, Seorang pegiat kesenian di Sumatra Barat, Ganti Akmal diduga menjadi korban kekerasan anggota polisi.

Faktor lainnya, tambah Yahya, adalah minimnya pengawasan lembaga internal maupun juga eksternal dari kepolisian. Lantaran minim pengawasan, penyalahgunaan wewenang anggota polisi masih marak.

“Dan yang terakhir, pun jika mereka atau para pelaku tindak pelanggaran tersebut diadili, mereka hanya mendapatkan sanksi ringan atau hukuman pidana ringan yang tidak menimbulkan efek jera yang pada akhirnya hal tersebut melanggarkan praktik-praktik impunitas,” katanya.

Wacana kamera pada polisi yang bertugas

Salah satu bentuk pengawasan yang paling mungkin dilakukan adalah pemasangan kamera (body camera) pada seluruh anggota polisi yang bertugas di lapangan. Hal ini sudah lama diwacanakan oleh Kompolnas, kata anggotanya Poengky Indarti.

“Sehingga penggunaan body camera tersebut merupakan bentuk pengawasan sekaligus pertanggungjawaban profesionalitas anggota,” katanya.

Pengamat kepolisian, Bambang Rukminto ikut menimpali. Bukan hanya, pemasangan kamera pada polisi yang bertugas, tapi setiap ruang interogasi perlu dilengkapi kamera pengawas.

penyiksaan polisi

Sumber gambar, ANTARAFOTO

Keterangan gambar, Ilustrasi. Kasus kematian Afif Maulana mendorong wacana penggunaan kamera menempel di badan anggota polisi saat menjalankan tugas.

“Seharusnya pemeriksaan itu harus dalam ruang interogasi yang juga dikontrol oleh, sekarang ada teknologi CCTV misalnya, sehingga hal-hal itu tidak lagi dilakukan,” katanya.

BBC News Indonesia telah menghubungi Kadiv Humas Polri, Sandi Nugroho untuk meminta komentar. Namun, sampai berita ini diturunkan, belum mendapat respons.

Kembali kepada Anggun Anggraini yang baru saja kehilangan putranya. Ia akan terus berjuang untuk mendapat keadilan keadilan atas kematian Afif Maulana. “Harapan [pelakunya] hukum mati, dipecat. Baru itu obat luka [hati] ini,” katanya.

Berita ini diperbarui pada Selasa, 2 Juli 2024, sekitar pukul 11.20 WIB, dengan menambahkan keterangan Kapolda Sumatra Barat Irjen Suharyono, Direktur LBH Padang, Indira Suryani, serta advokat publik di LBH Padang, Decthree Ranti Putri, tentang perkembangan penyelidikan kasus ini.