Lompat ke isi

Tintin di Tibet

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tintin in Tibet
(Tintin au Tibet)
Sampul edisi Indonesia
Tanggal1960
SerialPetualangan Tintin
PenerbitCasterman
Tim kreatif
PenciptaHergé
Terbitan asli
Diterbitkan diMajalah Tintin
Terbitan523 – 585
Tanggal terbit17 September 1958 – 25 November 1959
BahasaPrancis
Terjemahan
PenerbitMethuen
Tanggal1962
Penerjemah
  • Leslie Lonsdale-Cooper
  • Michael Turner
Kronologi
Didahului olehPetualangan Tintin, Laut Merah (1958)
Diikuti olehPermata Castafiore (1963)


Tintin di Tibet (Prancis: Tintin au Tibet) adalah volume ke-20 dari komik karya kartunis Belgia Hergé, Petualangan Tintin. Cerita Tintin di Tibet awalnya dimuat berseri dalam majalah Tintin setiap pekan pada September 1958November 1959 dan kemudian diterbitkan sebagai sebuah buku pada tahun 1960. Hergé menganggap volume ini sebagai petualangan Tintin favoritnya dan sebuah usaha emosional pribadi sebab ia menulis volume ini saat didera oleh mimpi-mimpi buruk traumatis dan konflik batin dalam memutuskan untuk meninggalkan istrinya demi seorang perempuan yang lebih muda. Cerita ini mengisahkan Tintin, seorang wartawan muda, yang mencari Zhang Chong-Ren, teman Tintin yang diumumkan telah mati oleh pihak berwenang karena kecelakaan pesawat terbang di Pegunungan Himalaya. Meyakini bahwa Zhang selamat, Tintin menjelajahi perbatasan Nepal dan Tibet untuk mencari Zhang bersama Milo, Kapten Haddock, dan Tharkey, pemandu dari suku Sherpa; mereka juga mendapati makhluk Yeti pada petualangan ini.

Diterbitkan setelah Petualangan Tintin, Laut Merah (1958) yang memiliki banyak tokoh, Tintin di Tibet tampak berbeda dari cerita lain dalam serial Petualangan Tintin. Volume ini hanya menampilkan beberapa tokoh yang sudah akrab dikenal dan juga merupakan satu-satunya kisah petualangan karya Hergé yang tidak menghadapkan Tintin dengan seorang antagonis. Cerita Hergé kali ini memuat tema indra keenam, mistisime Buddha Tibet, dan persahabatan. Tintin di Tibet telah diterjemahkan ke dalam 32 bahasa dan sangat disanjung oleh para kritikus. Cerita ini dipuji oleh Dalai Lama, yang menganugerahinya Penghargaan Cahaya Kebenaran. Tintin di Tibet sukses secara komersial dan diterbitkan dalam bentuk buku oleh Casterman tak lama setelah tamat dalam bentuk serial majalah. Serial Petualangan Tintin sendiri menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi komik Prancis-Belgia. Tintin di Tibet diadaptasi dan dimuat dalam serial animasi Petualangan Tintin (serial televisi) oleh Ellipse/Nelvana pada tahun 1991, drama radio oleh BBC Radio 5 pada tahun 1992–1993, permainan video pada tahun 1996, dan musikal Hergé's Adventures of Tintin oleh Young Vic pada tahun 2005–2006. Tintin di Tibet dibawakan secara menonjol pada dokumenter Tintin and I tahun 2003 dan merupakan subjek sebuah pameran museum.

Ketika sedang berlibur di sebuah resor di Alpen Prancis dengan Milo, Kapten Haddock, dan Profesor Lakmus, Tintin membaca berita tentang kecelakaan pesawat di Gunung Gosain Than, Pegunungan Himalaya, Tibet. Ia kemudian mendapat penglihatan bahwa temannya, Zhang Chong-Ren, terluka berat dan meminta pertolongan dari reruntuhan pesawat tersebut. Yakin bahwa Zhang selamat dan masih hidup, Tintin terbang ke Kathmandu, melalui Delhi, bersama dengan Milo dan Kapten Haddock yang sebenarnya ragu bahwa Zhang masih hidup. Mereka naik ke atas Pegunungan Himalaya bersama pemandu dari suku Sherpa yang bernama Tharkey dan beberapa pramuantar, melakukan perjalanan darat dari Nepal menuju tempat kecelakaan.[1]

Para pramuantar meninggalkan kelompok Tintin dan kawan-kawan karena khawatir akan terjadinya hal-hal misterius pada rute yang mereka lalui sementara Tintin dan kawan-kawan meneruskan perjalanan hingga mencapai tempat kecelakaan pesawat. Tintin dan Milo mengikuti jejak langkah Zhang dan menemukan sebuah gua dengan batu yang terukir dengan nama Zhang. Saat meninggalkan gua, Tintin tertimpa badai salju dan melihat sekilas siluet manusia. Tharkey meyakini bahwa Tintin baru berjumpa dengan Yeti. Tintin diminta untuk meninggalkan Zhang dan kembali ke Nepal karena kawasan pencarian mereka terlalu luas. Namun demikian, Tintin melihat sebuah syal di salah satu tebing dan meyakini bahwa Zhang berada di dekat sana, ia pun melanjutkan pencarian hanya dengan Kapten Haddock. Ketika mereka sedang memanjat tebing, Kapten Haddock terpeleset dan tak mampu berpegangan pada tebing tetapi untuk sementara waktu masih selamat karena terikat dengan Tintin. Ia meminta Tintin untuk memotong tali yang mengikat mereka bersama untuk menyelamatkan diri Tintin sendiri. Namun, Tintin menolak sehingga Kapten Haddock berusaha untuk memotong tali tersebut. Sebelum usaha tersebut selesai, pisau Kapten Haddock jatuh ke dasar jurang dan secara tak sengaja mengenai Tharkey yang pada akhirnya datang untuk menyelamatkan mereka. Pada malam harinya, mereka berusaha untuk mendirikan tenda di atas tebing tetapi tendanya hilang tertiup angin sehingga mereka harus terus melakukan perjalanan dan tak dapat tidur karena suhu yang dingin membeku. Pada keesokan harinya, mereka menemukan biara Buddha Khor-Biyong tetapi kemudian terjebak dalam sebuah longsoran salju.[2]

Blessed Lightning, seorang biksu di biara tersebut, mendapat sebuah penglihatan bahwa Tintin, Milo, Kapten Haddock, dan Tharkey sedang dalam bahaya. Tintin, dalam keadaan setengah sadar dan kesulitan bergerak, meminta Milo untuk membawa sebuah pesan ke biara. Milo berlari ke biara tersebut tetapi pesan yang ia bawa telah hilang. Meskipun demikian, Milo dapat dikenali sebagai anjing dari penglihatan Blessed Lightning. Ketika akhirnya Tintin, Kapten Haddock, dan Tharkey sadar, mereka telah berada di biara tersebut dan diajak menemui Kepala Biara Besar. Kepala Biara Besar meminta Tintin untuk meninggalkan usaha pencariannya tetapi Blessed Lightning mendapat penglihatan lagi dan memberitahu Tintin bahwa Zhang masih hidup dalam sebuah gua gunung di Tanduk Yak—dan bahwa Yeti juga ada di sana. Tintin dan Kapten Haddock pun pergi ke Tanduk Yak.[3]

Mereka tiba di sebuah gua dan menemukan Zhang, yang berada dalam keadaan demam dan gemetar. Yeti, akhirnya tampak dalam wujud antropoid besar, mendadak muncul dan marah karena Tintin berupaya untuk mengambil Zhang. Saat makhluk tersebut mendekap Tintin, sinar kamera Tintin menyala dan membuat Yeti kabur karena ketakutan. Zhang memberi tahu Tintin bahwa Yeti-lah yang menyelamatkan hidupnya setelah kecelakaan tersebut. Setelah kembali ke wilayah berpenduduk, Tintin dan kawan-kawan dikejutkan dengan kedatangan Kepala Biara Besar yang menghadiahi Tintin dengan sebuah syal khata untuk menghormati keberaniannya dalam menemukan kembali seorang teman, Zhang. Saat mereka melakukan perjalanan pulang, Zhang menyatakan bahwa Yeti bukanlah hewan liar, melainkan memiliki jiwa manusia. Yeti bersedih menyaksikan keberangkatan mereka dari kejauhan.[4]

Latar belakang dan gagasan-gagasan awal

[sunting | sunting sumber]
Hergé mengumpulkan kumpulan kliping dan memakai gambar-gambar yang mirip dengan gambar dari pemandangan Tibetan ini sebagai inspirasi untuk gambar-gambar pemandangan gunungnya.

Pada Oktober 1957, Hergé mengirimi penerbitnya, Casterman, sampul dari kisah Petualangan Tintin ke-19, Petualangan Tintin, Laut Merah, dan mulai membuat sejumlah gagasan untuk alur cerita petualangan selanjutnya; hal ini ia lakukan selama beberapa minggu berikutnya.[5] Mengenang kembali masa kepanduan saat ia masih muda, Hergé awalnya bermaksud mengirim Tintin kembali ke Amerika Serikat—seperti dalam petualangan ketiga, Tintin di Amerika—untuk membantu sekelompok penduduk Amerika asli mempertahankan tanah mereka dari sebuah perusahaan besar yang ingin mengebor minyak. Namun, Hergé meyakini bahwa kisah seperti itu akan menjadi langkah mundur.[6] Gagasan lain memuat Tintin yang berpadu dengan kepala pelayan Kapten Haddock, Nestor, untuk membuktikan bahwa Bird bersaudara, atasan lamanya, menjatuhkan tuduhan palsu terhadap Nestor atas kejahatan yang dilakukan oleh mereka. Gagasan ini juga dibuang[7] tetapi Hergé mempertahankan gagasan akan sebuah petualangan tanpa senjata api ataupun kekerasan—satu-satunya cerita Tintin tanpa tokoh antagonis.[8][a] Gagasan ketiga muncul, yaitu mengirim Tintin dan Profesor Lionel Lakmus ke sebuah kawasan kutub yang diselimuti salju yang membuat sekelompok penjelajah membutuhkan Profesor Lakmus untuk menyelamatkan mereka dari keracunan makanan. Gagasan itu juga ditinggalkan tetapi Hergé mempertahankan latar lingkungan bersalju dan memutuskan untuk tidak berfokus pada Profesor Lakmus melainkan pada tokoh utama, Tintin.[10][b]

Pada 1954, kolaborator Hergé, Jacques Van Melkebeke, pernah menyarankan agar menggunakan latar cerita di Tibet; hal ini tampaknya dipengaruhi oleh drama yang ia adaptasi untuk Hergé pada 1940-an, M. Boullock a disparu (Menghilangnya Mr. Boullock).[13] Bernard Heuvelmans, seorang kriptozoologis yang pernah membantu Hergé membentuk gambaran tentang penjelajahan bulan pada karya dua bagian: Perjalanan ke Bulan dan Petualangan di Bulan, memberi sebuah kopi bukunya, Sur la piste des bêtes ignorées (Menyusuri Jejak Hewan-Hewan yang Tidak Diketahui), pada tahun 1955 kepada Hergé.[14] Di dalam buku tersebut, Heuvelmans menuliskan saran bahwa kelak Tintin harus bertemu dengan Yeti.[11] Pada 1958, Hergé memutuskan agar Tibet menjadi latar Petualangan Tintin berikutnya. Gagasan-gagasan awal untuk judul cerita ini adalah Le museau de la vache (Moncong Sapi), Le museau de l'ours (Moncong Beruang), dan Le museau du yak (Moncong Yak), semuanya merujuk kepada pegunungan pada bagian akhir cerita.[15] Pada awalnya, "riset pasar" diklaim menjadi dasar pemilihan judul Tintin di Tibet karena penjualannya diprediksi lebih baik jika judul buku memakai nama Tintin. Namun demikian, produser dan penulis biografi Hergé, yaitu Harry Thompson, menyatakan "judul tersebut merefleksikan upaya [Tintin] yang bersifat solo."[16]

Masalah psikologi Hergé

[sunting | sunting sumber]

Pada masa penulisan Tintin di Tibet, Hergé tengah mengalami masa traumatis yang besar dalam hidupnya dan menderita gangguan kejiwaan. Pada tahun 1956, hubungan dengan istrinya, Germaine—yang ia nikahi pada 1932—mengalami keretakan. Pada tahun 1958, ia tertarik dan jatuh hati dengan Fanny Vlaminck, seorang pemberi warna di Studios Hergé yang 28 tahun lebih muda darinya; dan ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.[17] Mereka mulai melakukan pendekatan; keberadaan Fanny membuat moral Hergé pulih apalagi Fanny memiliki minat yang sama dengannya.[18] Germaine kemudian mulai ikut campur dengan urusan pendekatan tersebut sehingga Hergé mengaku bahwa ia bermaksud untuk mempertahankan hubungan dengan dua wanita tersebut.[19] Saat ia gagal mendapatkan izin Germaine, ia mulai mempertimbangkan agar menceraikan Germaine untuk menikahi Fanny.[20] Namun, latar belakang Katolik dan etika kepanduannya membuatnya merasa sangat bersalah.[21] Ia mengemukakan dalam wawancara dengan Numa Sadoul:

"Ini menandakan titik balik dari seluruh nilaiku—sangat menggoncangkan! Ini adalah krisis moral yang serius: aku sudah menikah, dan aku mencintai orang lain; aku tak tahan lagi hidup bersama istriku, tetapi di sisi lain, aku punya prinsip seperti dalam kepanduan untuk mempertahankan janji yang pernah kubuat selamanya. Ini adalah malapetaka yang nyata. Aku benar-benar tercabik."[22]

Pada masa ini, Hergé mengalami mimpi buruk berulang yang mana ia dihadapkan dengan citra-citra yang ia sebut sebagai "keindahan dan kekejaman warna putih"—penglihatan atas warna putih dan salju yang tak dapat ia jelaskan.[23] Di kemudian hari, ia berkata kepada Sadoul:

"Pada masa itu, aku menjalani masa krisis yang nyata; mimpi-mimpiku hampir selalu berupa mimpi berwarna putih. Dan mereka benar-benar membuatku tertekan. Aku membuat catatan tentangnya; aku mengingat mimpi yang mana aku berada dalam satu jenis menara yang terbuat dari serangkaian lereng. Dedaunan kering berjatuhan dan menyelimuti segalanya. Pada suatu saat, dalam ceruk yang berwarna putih tanpa noda, sebuah tengkorak putih tampak berusaha untuk menangkapku. Dan kemudian seketika itu semua yang ada di sekitarku menjadi putih."[22]

Menuruti nasihat mantan editornya, Raymond de Becker, Hergé mengunjungi Zürich untuk berkonsultasi dengan psikoanalis Swiss Franz Riklin, seorang murid dari Carl Jung, untuk mendapatkan penjelasan tentang mimpi-mimpi yang mengganggunya.[24] Riklin menyimpulkan adanya "pengejaran kesucian" yang sangat menonjol muncul dalam mimpi-mimpi Hergé dan pada akhirnya dalam Tintin di Tibet.[25] Riklin memberitahukan si penulis bahwa ia harus menghancurkan "iblis kesucian" dalam pikirannya secepat mungkin: "Aku tak ingin membuatmu putus asa tetapi dirimu tak akan bisa mencapai target pekerjaanmu. Pada akhirnya, hanya ada satu pilihan: kamu harus melewati krisis ini atau melanjutkan karya itu. Jika aku adalah dirimu, aku akan langsung berhenti mengerjakan cerita itu!"[26]

Hergé disarankan oleh Riklin untuk berhenti mengerjakan Tintin dan mencurahkan diri kepada hobi seni rupa abstrak sebagai gantinya tetapi hal itu membuatnya merasa seakan-akan menyerah begitu saja.[27] Pada akhirnya, Hergé meninggalkan istrinya sehingga ia dapat menikahi Fanny Vlaminck dan melanjutkan pengerjaan Tintin di Tibet;[28] Hergé merasa bahwa menuntaskan karangannya akan menumpas iblis-iblis yang ia rasa menggerayanginya.[29] "Ini adalah keputusan yang berani dan keputusan yang baik", kata wartawan dan pakar Tintin berkebangsaan Inggris Michael Farr. "Beberapa masalah, termasuk masalah psikologi, terselesaikan dengan mengabaikannya."[9] Thompson menyatakan, "Ini adalah ironi—tetapi bukannya mungkin melampaui prakiraan. Saat dihadapkan dengan dilema moral yang ditunjukkan oleh Riklin, Hergé memilih agar mempertahankan janjinya sesuai prinsip kepanduan untuk Tintin tetapi tidak melakukan hal yang sama untuk Germaine."[27][c] Pakar Tintin asal Belgia Philippe Goddin menjelaskan: "[Hergé] berusaha meraih kembali sebuah kesetimbangan yang hilang—sampai-sampai ia memaksakan pengejaran kesucian kepada pahlawannya ... menganggap bahwa Tintin perlu menjalani pengalaman tertekan dan terasing yang mendalam ... dan menemukan dirinya sendiri."[32]

Dalam pembuatan Tintin di Tibet, Hergé dipengaruhi oleh beragam hal. Cerita ini berlatar Pegunungan Himalaya yang berupa lingkungan yang diselimuti salju, mengikuti mimpi-mimpi Hergé yang berwarna putih dan kebutuhannya akan petualangan yang harus berbentuk "perjalanan penebusan dosa" karena "putihnya rasa bersalah". Gagasan dimasukkannya perjalanan solo menghasilkan cerita yang mana Tintin ditemani hanya oleh Milo, pemandu, dan Kapten Haddock yang enggan—sebagai pihak yang kontra dan sumber humor. [33][34]

Foto kuil Asia merah yang berada di sisi gunung
Vihara Drigung di Pegunungan Himalaya, Tibet, mirip dengan vihara Buddha yang digambarkan dalam komik

Hergé memasukkan tokoh Zhang, yang absen sejak Lotus Biru,[9] karena mengingat kembali Zhang Chongren, teman berkebangsaan Tionghoa yang juga adalah seniman[35] tetapi belum pernah ia temui kembali semenjak hari-hari mereka menjalin pertemanan pada dua puluh tahun yang lalu. Hergé dan Zhang sebelumnya banyak menghabiskan hari Minggu bersama agar Hergé bisa mempelajari budaya Tionghoa demi pengerjaan Lotus Biru.[36][d] Kemudian, Zhang kembali ke tanah airnya dan Hergé kehilangan kontak setelah invasi Jepang ke Tiongkok pada 1937.[37] Hergé merasa bahwa Zhang—tokoh dalam cerita—dan Tintin harus bertemu kembali, sesuai harapan Hergé agar suatu hari nanti ia bisa bersua kembali dengan temannya. [38][e]

Hergé membaca berbagai buku mengenai Tibet untuk proyek ini: Secret Tibet (Tibet yang Tersembunyi) karya Fosco Maraini, Seven Years in Tibet (Tujuh Tahun di Tibet) karya Heinrich Harrer, Tibet My Homeland (Tibet Kampung Halamanku) karya Tsewang Pemba, Annapurna karya Maurice Herzog, Mata Ketiga karya Lobsang Rampa yang kontroversial,[f] dan buku-buku karya penjelajah dan spiritualis Belgia Alexandra David-Néel.[41] Hergé mengunjungi Perhimpunan Alpen Belgia untuk melihat koleksi foto Pegunungan Himalaya yang mereka miliki; mereka mengiriminya karya fotografer Richard Lannoy tentang India.[42] Model-model untuk gambar seperti biksu dengan alat musik, orang Sherpa dengan tas pundak, dan reruntuhan pesawat berasal dari kliping yang Hergé kumpulkan dari sumber-sumber seperti National Geographic.[43] Anggota studio membantu dalam mengumpulkan bahan sumber lainnya; contohnya, kolaborator Jacques Martin meneliti dan menggambar kostum-kostum pada cerita Tintin di Tibet.[44]

Untuk memahami soal Yeti—yang ia gambarkan sebagai makhluk yang penyayang, Hergé mengontak temannya, Bernard Heuvelmans—pengarang Menyusuri Jejak Hewan-Hewan yang Tidak Diketahui.[14] Setelah membaca ulang penjelasan Heuvelmans tentang Yeti, Hergé melakukan riset tentang spesies kriptid tersebut sebisa mungkin.[45] Hergé mewawancarai para pendaki, termasuk Herzog, yang pernah menemukan jejak kaki yang ia yakini dimiliki oleh sesosok makhluk dengan dua kaki yang tengah berhenti di kaki wajah batu di Annapurna.[46] Gagasan tentang kepedulian makhluk tersebut saat Zhang kelaparan terinspirasi oleh penuturan orang Sherpa yang menceritakan bahwa sesosok Yeti pernah menyelamatkan seorang gadis kecil pada kejadian serupa.[47] Pengaruh lain datang dari Fanny Vlaminck yang tertarik dengan indra keenam dan mistisime Buddha Tibet; hal-hal tersebut juga memikat Hergé yang menjadikannya tema-tema yang penting dalam cerita Tintin.[48][49]

Publikasi

[sunting | sunting sumber]
Panel dari Tintin di Tibet, yang menggambarkan reruntuhan pesawat. Saat Air India mengecam pesawat mereka ditampilkan dalam sebuah kecelakaan, Hergé mengubah logonya menjadi maskapai fiktif Sari-Airways.

Studios Hergé membuat serial mingguan Tintin di Tibet pada September 1958–November 1959 dengan jumlah dua halaman per pekan di majalah Tintin.[50] Hergé berusaha menyempurnakan akurasi cerita ini sehingga ia memasukkan logo Air India pada sayap pesawat yang kecelakaan. Namun, perwakilan Air India mengajukan keluhan kepada Hergé atas publisitas maskapai penerbangan tersebut yang dinilai buruk, dengan menyatakan, "Ini skandal, pesawat kami tak ada yang pernah jatuh; Anda telah berbuat salah kepada kami." Air India bekerja sama dengan Hergé, membantu risetnya dengan menyediakan bahan bacaan, foto-foto kontemporer, dan rekaman film tentang India dan Nepal, terutama Delhi dan Kathmandu.[51][g] Karena pesawat yang jatuh tetap dipilih menunjukkan nomor ekor "VT"—kode negara untuk pesawat India, Hergé sepakat untuk mengubah logo maskapai dalam edisi yang kemudian diterbitkan menjadi milik Sari-Airways (maskapai rekaan)—meskipun ia dengan datar mengomentari bahwa ada begitu banyak maskapai penerbangan India sehingga Sari-Airways dianggap benar-benar ada.[53]

Saat mengembangkan cerita, anggota studio sempat berseteru dengan Hergé mengenai unsur-unsur cerita dalam Tintin di Tibet. Bob de Moor mengkhawatirkan bahwa adegan yang mana Haddock jatuh ke dalam stupa dapat dianggap sebagai penghinaan bagi umat Buddha.[54] Jacques van Melkebeke menyarankan agar Yeti tidak digambarkan dalam ilustrasi naskah untuk menciptakan kesan misterius tetapi Hergé tak sepakat, meyakini bahwa keputusan tersebut akan tak disukai oleh para pembaca anak-anak.[54]

Setelah cerita berseri tersebut rampung, Hergé bekerja sama dengan penerbitnya, Casterman, untuk memproduksi karya tersebut dalam bentuk buku. Rancangan asli Hergé untuk sampul depan menampilkan Tintin dan rekan ekspedisinya berdiri dengan latar yang putih secara keseluruhan.[55] Casterman menganggapnya terlalu abstrak sehingga Hergé menambahkan rangkaian pegunungan di bagian atas; penulis biografi Benoît Peeters menganggap bahwa ketika hal ini dilakukan, sebagian "kekuatan dan orisinalitas" gambar tersebut hilang.[54]

Produksi cerita Tintin di Tibet berjalan berdampingan dengan rentetan peristiwa dalam perkembangan politik di Tibet.[56] Pada Maret 1959, pemimpin spiritual dan politik terdepan Tibet, Dalai Lama, kabur dari wilayah tersebut dan mengasingkan diri ke India saat Pemberontakan Tibet 1959.[57] Pada Mei 2001, ketika Tintin di Tibet diterbitkan di Republik Rakyat Tiongkok, otoritas negara tersebut mengganti namanya menjadi Tintin di Tibet Milik Tiongkok. Casterman dan Yayasan Hergé mengajukan protes terhadap judul tersebut sehingga otoritas Tiongkok mengembalikannya ke judul asli cerita.[58]

Tanggapan

[sunting | sunting sumber]

Hergé memandang Tintin di Tibet sebagai cerita Petualangan Tintin favoritnya.[59] Ia menganggap cerita ini sebagai ode persahabatan, disusun "sesuai pedoman kegigihan dan persahabatan".[h] "Ini adalah cerita persahabatan", kata Hergé tentang bukunya bertahun-tahun kemudian, "sama halnya dengan perkataan, 'Ini adalah sebuah cerita cinta.'"[61][i]

Analisis kritis

[sunting | sunting sumber]

Tintin di Tibet mendapatkan sambutan yang baik dari para kritikus bidang komik dan kesusastraan. Farr menyebutnya "luar biasa dari banyak sisi, tampak menonjol dibandingkan sekitar dua puluh tiga petualangan Tintin yang telah usai ... sebuah penyajian nilai jalinan persahabatan yang tak mungkin terkoyak."[9] Jean-Marc Lofficier dan Randy Lofficier menyebutnya sebagai "buku Tintin paling baik yang mungkin ada", mencapai "tingkat kesempurnaan, baik dalam hal cerita maupun aspek seninya yang memukau, dengan tandingan yang jarang ada, sebelum atau sesudahnya" dan "bisa dibilang sebagai buku terbaik dalam cerita berseri tersebut".[63] Mereka merincikan bagian-bagian emosional dari cerita tersebut: kesediaan Haddock dalam mengorbankan nyawanya untuk Tintin, kembalinya Tharkey, pertemuan kembali penuh air mata antara Tintin dan temannya yang kelaparan Zhang, penghormatan yang diberikan kepada Tintin oleh Kepala Biara dan para biksu, serta kesedihan Yeti saat menyaksikan keberangkatan satu-satunya temannya. "Adalah prestasi yang berharga dan jarang ada bahwa suatu komik dapat memuat emosi-emosi kuat seperti demikian, menyampaikannya kepada para pembaca, dan membuat mereka merasakan apa yang para tokoh cerita rasakan."[40] Thompson menyebutnya "sebuah buku yang kesucian dan putihnya sangat besar",[27] juga mengatakan bahwa "sifat cerita yang benar-benar personal menjadikannya petulangan Tintin kesukaan Hergé", dengan tambahan bahwa jika para pembaca ingin tahu apakah "beban besar telah terangkat dari pundak Hergé, [ini] dapat dilihat pada bukunya yang berikut, Permata Castafiore, sebuah mahakarya tentang pemulihan diri."[64] Karena Tintin di Tibet diterjemahkan ke dalam 32 bahasa, Donald Lopez, profesor di bidang ilmu Buddha dan Tibet, menyebutnya "buku tentang Tibet yang berpenjualan terbesar."[65]

Kritikus sastra Jean-Marie Apostolidès, dalam sebuah analisis psikoanalisis terhadap Tintin di Tibet, mendapati bahwa Tintin lebih dapat mengontrol alur cerita ketimbang dalam petualangan sebelumnya. Ia menyatakan bahwa tokoh cerita tersebut menampakkan kekhawatiran dan emosi yang tak ditampilkan sebelumnya, suatu hal yang ia anggap menunjukkan bahwa Tintin sedang dalam usaha menyelesaikan masalah-masalah yang menumpuk merundunginya dalam kehidupan.[66] Dalam analisisnya, Apostolidès menyebut Tintin sebagai "bayi telatar" dan temannya Zhang sebagai "anak hilang" dan "kembaran Tintin ... para pahlawan cerita ini berjuang dengan keras agar dapat meninggalkan hal keduniawian dan jeratan nilai-nilai alam semesta."[67] Ia memandang Yeti, yang "mengalami internalisasi karakter manusia tertentu", bersifat lebih kompleks daripada tokoh monster buatan Hergé yang telah lampau, Ranko dalam Pulau Hitam:[68] "Monster ini menyayangi Zhang dengan kasih tanpa syarat seperti halnya cinta Tintin terhadap temannya."[69]

Pierre Assouline menyebut Tintin di Tibet "sebuah keadaan spiritual" merupakan "satu-satunya konflik adalah antara manusia dan alam."

Analisis kesusastraan oleh Tom McCarthy membandingkan usaha pencarian yang dilakukan oleh Tintin dengan penaklukan yang dilakukan oleh Hergé terhadap rasa khawatir dan bersalahnya sendiri. Ia berkata, "Ini adalah moira dari mitologi putih Hergé sendiri, takdirnya sendiri: menjadikannya Sarrasine bagi la Zambinella Tintin."[j] McCarthy menyebutkan bahwa "hamparan putih yang tidak ramah [menyerupai selimut es] dari mimpi-mimpi buruk Hergé [mungkin] benar-benar terhubung dengan pahlawan cerita Hergé dalam bentuk analog," khususnya dengan cara "Tintin mewakili sebuah tujuan kebaikan, kebersihan, sifat autentik yang tak mungkin tergapai."[71]

Penulis biografi Hergé, Pierre Assouline berpendapat bahwa Tintin di Tibet adalah "potret si seniman di titik balik" kehidupannya.[72] Ia meyakini bahwa karya tersebut "bersifat sendiri" pada cerita berseri Petualangan Tintin karena ketiadaan antagonis dan jumlah tokoh dalam cerita yang sedikit; ia mendeskripsikan cerita itu sebagai "pencarian spiritual" yang mana "satu-satunya konflik adalah antara manusia dan alam ... [Hergé] mencurahkan dirinya yang terbaik untuk Tintin di Tibet."[72] Merujuk pada "penceritaannya yang apa adanya dan kejernihan arketipenya",[73] Benoît Peeters meyakini bahwa Tintin di Tibet merupakan salah satu dari dua buku "penting yang pokok" dalam cerita berseri Petualangan Tintin—buku penting lainnya yaitu Lotus Biru; menurutnya, kemunculan Zhang dalam kedua karya tersebut adalah hal yang memilukan.[74] Ia juga menyatakan bahwa Hergé memasukkan Yeti yang baik hati untuk "menebus pembantaian tak berkesudahan" terhadap para hewan dalam petualangan Tintin yang kedua, Tintin di Kongo,[75] dan bahwa kesedihan Yeti pada akhir cerita menunjukkan perasaan Hergé tentang perpisahannya dengan Germaine.[76] Peeters menyatakan, "Bahkan melebihi Maus karya Art Spiegelman, Tintin di Tibet mungkin merupakan buku yang paling menggerakkan perasaan dalam sejarah strip komik."[76]

Penghargaan

[sunting | sunting sumber]

Dalam upacara di Brussels pada 1 Juni 2006, Dalai Lama menganugerahkan Penghargaan Cahaya Kebenaran sebagai bagian Kampanye Internasional untuk Tibet (International Campaign for Tibet, ICT) kepada Yayasan Hergé, memberi pengakuan atas Tintin di Tibet, yang memperkenalkan kawasan tersebut kepada pembaca di seluruh dunia.[77] Direktur eksekutif ICT Tsering Jampa berkata, "Bagi banyak orang, penggambaran Tibet buatan Hergé adalah pengenalan mereka kepada budaya dan pemandangan menginspirasi milik Tibet."[77] Pada acara tersebut, salinan Tintin di Tibet dalam bahasa Esperanto (Tinĉjo en Tibeto) didistribusikan.[78] Menerima penghargaan untuk yayasan tersebut, janda Hergé, Fanny Rodwell[k] berkata, "Kami tak pernah mengira bahwa cerita persahabatan ini akan tetap beresonansi lebih dari 40 tahun kemudian".[78]

Delapan tahun setelah kematian Hergé, Tintin di Tibet diadaptasi dalam sebuah episode The Adventures of Tintin (1991–92). Serial televisi itu diadakan oleh studio Prancis Ellipse dan perusahaan animasi Kanada Nelvana. Episode tersebut disutradarai oleh Stéphane Bernasconi, dengan Thierry Wermuth sebagai pengisi suara Tintin.[80] Tintin di Tibet juga dijadikan salah satu episode serial BBC Radio 4 The Adventures of Tintin pada tahun 1992, dengan Richard Pearce sebagai pengisi suara Tintin.[81] Cerita Tintin di Tibet dijadikan permainan video yang dimainkan dengan PC dan Game Boy pada 1995.[82]

Tintin and I (2003) adalah sebuah dokumenter karya sutradara Denmark, Anders Høgsbro Østergaard. Film itu dibuat berdasarkan wawancara tahun 1971 oleh Numa Sadoul dengan Hergé, yang juga memuat bagian wawancara yang direstorasi dengan suntingan besar oleh Hergé dalam buku Sadoul.[83] Østergaard mempunyai akses penuh ke rekaman audio wawancara, ia mengeksplorasi masalah-masalah pribadi yang si pengarang hadapi saat membuat Tintin di Tibet dan bagaimana masalah-masalah itu menggerakkan penciptaan karya yang dianggap sebagai petualangan paling pribadi si pengarang.[84]

Pada ulang tahun keseratus Hergé pada 2007, Tintin masih populer.[85] Tintin di Tibet diadaptasi menjadi sebuah musikal teatrikal, Hergé's Adventures of Tintin, yang ditampilkan pada akhir 2005 sampai awal 2006 di Barbican Arts Centre, London. Produksi tersebut, yang disutradarai oleh Rufus Norris dan diadaptasi oleh Norris dan David Greig, menampilkan Russell Tovey sebagai Tintin.[86] Musikal tersebut diproduksi kembali di Playhouse Theatre, West End, London lalu dijadikan penampilan keliling pada 2007.[87] Pada 2010, saluran televisi Arte memfilmkan sebuah episode dari serial dokumenternya, Sur les traces de Tintin (Melacak Tintin), di Pegunungan Himalaya Nepal. Episode itu mengeksplorasi inspirasi dan latar Tintin di Tibet.[88] Pada Mei sampai September 2012, Museum Hergé di Louvain-la-Neuve mengadakan sebuah pameran mengenai cerita petualangan itu, judul pameran adalah Into Tibet with Tintin.[89]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Terkait Tintin di Tibet yang menjadi satu-satunya cerita Tintin tanpa seorang antagonis, Farr menyatakan, "Bahkan Permata Castafiore yang memiliki seekor burung berbakat."[9]
  2. ^ Gagasan cerita lainnya yang ditolak meliputi seekor bebek dengan sebuah SOS yang mendarat di sebuah kapal uap, orang terlupakan di sebuah pulau Pasifik yang berada dalam sebuah kamp konsentrasi,[11] dan cerita seru mata-mata yang ditiadakan Le Thermozéro.[12]
  3. ^ Meskipun berpisah darinya, Hergé bertemu Germaine setiap Senin.[30] Perceraian mereka selesai tujuh belas tahun kemudian, pada 1977.[31]
  4. ^ Contohnya, Zhang mengajari kaligrafi Tionghoa kepada Hergé, yang menjadi alasan dari penulisan khas Hergé yang terlihat dalam berbagai sampul Tintin manapun.[36]
  5. ^ Dua tahun sebelum kematian Hergé pada 1983, Zhang datang dan bertemu lagi dengan Hergé di Brussels.[39]
  6. ^ Pengarang The Third Eye, yang menampilkan autobiografi seorang biksu kelahiran Tibet,adalah seorang penulis Inggris yang memutuskan untuk menulis karya berpenjualan terbaik tersebut pada 1958.[40]
  7. ^ Air India berada dalam alur ceritanya, pesawat tersebut menerbangkan Tintin, Snowy dan Haddock dari Eropa ke Delhi dan Kathmandu.[52]
  8. ^ Seperti yang dikutip oleh Sadoul,[22] penjelasan Hergé dalam salinan Raymond Leblanc dari Tintin di Tibet.[60]
  9. ^ Hergé mengatakan hal ini dalam suratnya kepada Jean Toulat, 16 Januari 1975.[62]
  10. ^ McCarthy merujuk kepada karakter Ernest-Jean Sarrasine dan kekasihnya Zambinella dalam Sarrasine karya Honoré de Balzac.[70] Jurnalis Belgia Pol Vandromme juga membandingkan Hergé dengan Balzac dalam Le Monde de Tintin, yang diterbitkan pada 1959.[55]
  11. ^ Fanny Vlaminck menikahi Nick Rodwell, agen pernak-pernik Studio Hergé di London dan pemilik Covent Garden Tintin Shop (tujuh belas tahun lebih muda darinya), pada 1993.[79]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Hergé 1962, hlm. 1–27.
  2. ^ Hergé 1962, hlm. 26–44.
  3. ^ Hergé 1962, hlm. 44–54.
  4. ^ Hergé 1962, hlm. 54–62.
  5. ^ Goddin 2011, hlm. 93–94; Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 72.
  6. ^ Thompson 1991, hlm. 171; Farr 2001, hlm. 162; Assouline 2009, hlm. 187; Goddin 2011, hlm. 96.
  7. ^ Thompson 1991, hlm. 171; Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 72–73; Assouline 2009, hlm. 187; Goddin 2011, hlm. 94; Peeters 2012, hlm. 270.
  8. ^ Thompson 1991, hlm. 171; Peeters 1989, hlm. 110; Assouline 2009, hlm. 191; Goddin 2011, hlm. 101.
  9. ^ a b c d Farr 2001, hlm. 161.
  10. ^ Thompson 1991, hlm. 171–172.
  11. ^ a b Goddin 2011, hlm. 96.
  12. ^ Goddin 2011, hlm. 98, 116–118; Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 72.
  13. ^ Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 73–74, 91; Peeters 2012, hlm. 271.
  14. ^ a b Thompson 1991, hlm. 173; Farr 2001, hlm. 165; Assouline 2009, hlm. 187; Peeters 2012, hlm. 272; Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 74.
  15. ^ Thompson 1991, hlm. 173; Farr 2001, hlm. 168; Assouline 2009, hlm. 191; Goddin 2011, hlm. 101–103; Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 73.
  16. ^ Thompson 1991, hlm. 173.
  17. ^ Thompson 1991, hlm. 168; Peeters 1989, hlm. 110; Farr 2001, hlm. 161; Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 15, 74; Goddin 2011, hlm. 101; Peeters 2012, hlm. 260.
  18. ^ Thompson 1991, hlm. 168; Farr 2001, hlm. 161.
  19. ^ Peeters 2012, hlm. 280.
  20. ^ Farr 2001, hlm. 161; Assouline 2009, hlm. 186; Goddin 2011, hlm. 109.
  21. ^ Thompson 1991, hlm. 168, 170; Farr 2001, hlm. 161.
  22. ^ a b c Sadoul 1975.
  23. ^ Thompson 1991, hlm. 170; Goddin 2011, hlm. 104; Sadoul 1975.
  24. ^ Goddin 2011, hlm. 108; McCarthy 2006, hlm. 90; Assouline 2009, hlm. 190–191; Peeters 2012, hlm. 274, 278; Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 15, 74.
  25. ^ Goddin 2011, hlm. 108.
  26. ^ Thompson 1991, hlm. 171; Farr 2001, hlm. 161; Assouline 2009, hlm. 191; Goddin 2011, hlm. 108.
  27. ^ a b c Thompson 1991, hlm. 171.
  28. ^ Thompson 1991, hlm. 171, 174; Farr 2001, hlm. 161; Assouline 2009, hlm. 191; Goddin 2011, hlm. 109; Peeters 2012, hlm. 278–279.
  29. ^ Thompson 1991, hlm. 172; Peeters 1989, hlm. 110; Goddin 2011, hlm. 108; Assouline 2009, hlm. 191.
  30. ^ Assouline 2009, hlm. 186.
  31. ^ Peeters 2012, hlm. 328; Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 16.
  32. ^ Goddin 2011, hlm. 104, 107.
  33. ^ Thompson 1991, hlm. 172.
  34. ^ Thompson 1991, hlm. 172; Peeters 1989, hlm. 110; Farr 2001, hlm. 161.
  35. ^ McCarthy 2006, hlm. 47–48.
  36. ^ a b Peeters 2012, hlm. 74–76.
  37. ^ Lopez, Jr. 1999, hlm. 212; Thompson 1991, hlm. 172; Goddin 2011, hlm. 101; Peeters 2012, hlm. 318–321.
  38. ^ Thompson 1991, hlm. 172; Goddin 2011, hlm. 101; Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 73.
  39. ^ Farr 2001, hlm. 162; McCarthy 2006, hlm. 59; Peeters 2012, hlm. 318–321.
  40. ^ a b Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 75.
  41. ^ Assouline 2009, hlm. 185–186; Peeters 2012, hlm. 273; Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 74–75.
  42. ^ Assouline 2009, hlm. 188.
  43. ^ Farr 2001, hlm. 166–168.
  44. ^ Thompson 1991, hlm. 172–173.
  45. ^ Peeters 1989, hlm. 112; Farr 2001, hlm. 165; Peeters 2012, hlm. 271; Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 74; Goddin 2011, hlm. 96.
  46. ^ Farr 2001, hlm. 165; Peeters 2012, hlm. 272–273.
  47. ^ Thompson 1991, hlm. 173; Farr 2001, hlm. 165.
  48. ^ Farr 2001, hlm. 162.
  49. ^ Farr 2001, hlm. 162; Thompson 1991, hlm. 174; Peeters 1989, hlm. 112; Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 74.
  50. ^ Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 72; Thompson 1991, hlm. 130.
  51. ^ Farr 2001, hlm. 168; Peeters 1989, hlm. 112; Goddin 2011, hlm. 103.
  52. ^ Hergé 1962, hlm. 9.
  53. ^ Farr 2001, hlm. 168; Peeters 1989, hlm. 112.
  54. ^ a b c Peeters 2012, hlm. 279.
  55. ^ a b Goddin 2011, hlm. 116.
  56. ^ Farr 2001, hlm. 162; Goddin 2011, hlm. 107.
  57. ^ Farr 2001, hlm. 162; French 2009; Le Soir 23 May 2001.
  58. ^ Le Soir 23 May 2001; BBC News 2 June 2006.
  59. ^ Thompson 1991, hlm. 173; Assouline 2009, hlm. 189.
  60. ^ Assouline 2009, hlm. 191, 251.
  61. ^ Assouline 2009, hlm. 192; McCarthy 2006, hlm. 57.
  62. ^ Assouline 2009, hlm. 192, 251.
  63. ^ Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 74.
  64. ^ Thompson 1991, hlm. 173–174.
  65. ^ Lopez, Jr. 1999, hlm. 212.
  66. ^ Apostolidès 2010, hlm. 203.
  67. ^ Apostolidès 2010, hlm. 214.
  68. ^ Apostolidès 2010, hlm. 215–216.
  69. ^ Apostolidès 2010, hlm. 220.
  70. ^ McCarthy 2006, hlm. 160.
  71. ^ McCarthy 2006, hlm. 160–161.
  72. ^ a b Assouline 2009, hlm. 191.
  73. ^ Peeters 2012, hlm. 274.
  74. ^ Peeters 2012, hlm. 273.
  75. ^ Thompson 1991, hlm. 173; Peeters 2012, hlm. 279.
  76. ^ a b Peeters 2012, hlm. 281.
  77. ^ a b Int'l Campaign for Tibet 17 May 2006.
  78. ^ a b BBC News 2 June 2006.
  79. ^ Thompson 1991, hlm. 42, 210–211; Pignal 2010.
  80. ^ Lofficier & Lofficier 2002, hlm. 90.
  81. ^ BBC Radio 4 1993.
  82. ^ MobyGames.com 1995.
  83. ^ Thompson 1991, hlm. 198; Peeters 2012, hlm. 315–317; PBS.com 2006.
  84. ^ Peeters 2012, hlm. 315–317; PBS.com 2006.
  85. ^ Pollard 2007.
  86. ^ Billington 2005; YoungVic.org 2005; Barbican 2005.
  87. ^ Smurthwaite 2007; SoniaFriedman.com 2007.
  88. ^ Arte 2010.
  89. ^ Musée Hergé 2012.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]