Lompat ke isi

Pengganti gula

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Stevia rebaudiana, sumber utama dari pemanis stevia

Pengganti gula adalah bahan tambahan makanan yang meniru rasa dari gula ketika bertemu dengan lidah, umumnya memiliki nilai kalori yang lebih rendah. Pengganti gula dapat berasal dari bahan alam maupun sintetik. Minuman ringan yang berlabel "diet" atau "rendah kalori" biasanya mengandung bahan pengganti gula atau pemanis buatan. Rasa manis dari pengganti gula dibandingkan dengan gula pasir biasa sehingga didapatkan angka tertentu yang dapat digunakan untuk menakar jumlah atau konsentrasi yang akan digunakan dalam makanan supaya tidak terlalu manis. Stevia, aspartam, sukralosa, neotame, sodium asesulfam, dan sakarin adalah pemanis buatan yang paling banyak digunakan dalam industri saat ini.

Stevia adalah salah satu pemanis pengganti gula yang berasal dari alam. Pemanis alami lainnya yaitu silitol dan sorbitol yang diekstrak dari buah-buahan namun juga bisa dibuat dari bahan lain dengan cara hidrogenasi gula sederhana. Silitol kini dapat dibuat dari xilosa, sorbitol dari glukosa, dan laktitol dari laktosa.

Berbagai negara di dunia mendayagunakan lembaga pengawas makanan dan kesehatan dalam meregulasi penggunaan bahan pengganti gula ke dalam makanan. Di Amerika Serikat, pengawasan dilakukan oleh FDA, sedangkan di Indonesia pengawasan dilakukan BPOM.

Sebelum industrialisasi gula, manusia telah menggunakan berbagai macam bahan di alam untuk membuat bahan pemanis, terutama dari buah-buahan dan madu. Namun pemanis sintetik pertama diperkirakan adalah timbal (II) asetat yang dibuat pertama kali oleh bangsa Romawi. Ketika gula tidak didapatkan dan kehabisan madu, seseorang akan merebus jus anggur ke dalam panci besar yang terbuat dari timbal dalam waktu lama sehingga didapatkan bahan yang memiliki rasa yang sangat manis yang disebut dengan defrutum. Namun pemahaman mengenai keracunan timbal belum muncul ketika itu.[1]

Alasan penggunaan

[sunting | sunting sumber]

Bahan pengganti gula digunakan dengan sejumlah alasan antara lain:

  • Mengurangi berat badan karena bahan pengganti gula cenderung memiliki nilai kalori yang sangat kecil atau tidak ada sama sekali.
  • Kesehatan (penyakit diabetes dan hipoglikemia reaktif), karena bahan pengganti gula tidak meningkatkan kadar gula darah.
  • Kesehatan gigi, karena pemanis berbasis gula cenderung merusak gigi. Namun sebaliknya, xylitol yang merupakan pemanis alami pengganti gula, mampu mencegah menempelnya bakteri pada permukaan gigi. Dan xylitol tidak dapat difermentasi oleh bakteri sehingga tidak menyebabkan penumpukan asam penyebab gigi berlubang dan plak.[2]
  • Biaya, karena pemanis pengganti gula memiliki tingkat kemanisan hingga ratusan kali dibandingkan gula, sehingga penggunaannya dapat lebih sedikit untuk mendapatkan rasa manis yang setara dengan gula.[3]

Pengganti gula dari bahan alami

[sunting | sunting sumber]

Tingkat kemanisan dan kepadatan energi dibandingkan dengan sukrosa, komponen utama gula pasir.

Nama Tingkat kemanisan berdasarkan berat Tingkat kemanisan berdasarkan energi Kepadatan energi Catatan
Brazzein 800 Protein
Curculin 550 Protein
Erythritol 0.7 14 0.05
Glycyrrhizin 50
Gliserol 0.6 0.55 1.075 E422
Hydrogenated starch hydrolysates 0.4–0.9 0.5×–1.2 0.75
Inulin
Isomalt 0.45–0.65 0.9–1.3 0.5 E953
Lactitol 0.4 0.8 0.5 E966
Mogroside 300
Mabinlin 100 Protein
Maltitol 0.9 1.7 0.525 E965
Malto-oligosakarida
Mannitol 0.5 1.2 0.4 E421
Miraculin Protein yang tidak memiliki rasa manis namun mengubah kemampuan lidah mencicipi makanan lain sehingga menjadi manis
Monatin Diekstrak dari tanaman Sclerochiton ilicifolius
Monellin 3,000 Protein; Diekstrak dari Dioscoreophyllum volkensii
Osladin
Pentadin 500 Protein
Sorbitol 0.6 0.9 0.65 E420
Stevia 250
Tagatose 0.92 2.4 0.38 monosakarida
Thaumatin 2,000 Protein; E957
Xylitol 1.0 1.7 0.6 E967

Pemanis sintetik

[sunting | sunting sumber]

Umumnya pemanis sintetik tidak mengandung kalori.

Nama Tingkat kemanisan berdasarkan berat Merk dagang Izin penggunaan Catatan
Acesulfame potassium 200 Nutrinova FDA 1988, BPOM 2011 E950
Advantame 20,000 FDA
Alitame 2,000 Disetujui di Meksiko, Australia, Selandia Baru, dan China. Pfizer
Aspartame 160–200 NutraSweet, Equal FDA 1981, EU 1994, BPOM 2011 E951
Garam dari aspartame-acesulfame 350 Twinsweet E962
Natrium siklamat 30 FDA melarangnya tahun 1969, disetujui EU, disetujui BPOM sejak 2009 E952, Abbott
Dulcin 250 FDA melarangnya tahun 1950
Glucin 300
Neohesperidin dihydrochalcone 1,500 E959
Neotame 8,000 NutraSweet FDA 2002 E961
P-4000 4,000 FDA melarangnya 1950
Sakarin 300 Sweet'N Low FDA 1958, BPOM 2010 E954
Sukralosa 600 Kaltame, Splenda Kanada 1991, FDA 1998, EU 2004, BPOM 2011 E955, Tate & Lyle

Masalah kesehatan

[sunting | sunting sumber]

Studi yang dilakukan terhadap tikus menemukan bahwa rasa manis yang diterima oleh lidah menyebabkan respons pelepasan insulin ke aliran darah.[4] Pelepasan insulin ini menyebabkan gula darah tersimpan di jaringan tubuh. Jika insulin yang ada dalam darah melebihi batas aman, dapat menyebabkan hipoglikemia atau hiperinsulinemia. Hal ini menyebabkan tubuh akan merasa makin lapar dan memakan lebih banyak makanan pada kesempatan berikutnya. Tikus dalam percobaan memperlihatkan peningkatan berat badan.[4][5] Namun seberapa jauh ketepatan hasil percobaan terhadap analogi tubuh manusia masih belum pasti.[6]

Sebuah studi yang dilakukan University of Texas Health Science Center di San Antonio pada tahun 2005 menunjukkan peningkatan berat badan dan risiko obesitas pada masyarakat yang rutin mengonsumsi soda diet, yaitu soda tanpa gula alami melainkan dengan pemanis buatan. Namun studi ini tidak menemukan apakah peningkatan berat badan menyebabkan meningkatnya konsumsi soda diet atau sebaliknya, soda diet yang menyebabkan peningkatan berat badan.[7]

Sebuah studi yang dilakukan Universidade Federal do Rio Grande do Sul tahun 2012 memperlihatkan bahwa penambahan sakarin dan aspartam pada pola makan tikus menyebabkan peningkatan berat badan, dibandingkan dengan tikus kontrol yang hanya diberi makanan dengan pemanis sukrosa.[8]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Lead Poisoning and Rome
  2. ^ C (2010). "Unique Sweetener Supports Oral health". vrp.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-01. Diakses tanggal 2014-08-06. 
  3. ^ Coultate, T. (2009). Food: The chemistry of its components. Cambridge, UK: The Royal Society of chemistry
  4. ^ a b DOI:10.1073/pnas.0706890104
    Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual
  5. ^ Swithers SE, Davidson TL (2008). "A role for sweet taste: calorie predictive relations in energy regulation by rats". Behav Neurosci. 122 (1): 161–73. doi:10.1037/0735-7044.122.1.161. PMID 18298259. 
  6. ^ DOI:10.1152/ajpgi.90708.2008
    Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual
  7. ^ DeNoon, Daniel J. Reviewed by Charlotte Grayson Mathis MD. "Drink More Diet Soda, Gain More Weight? Overweight Risk Soars 41% With Each Daily Can of Diet Soft Drink", WebMD Medical News (2005), accessed 2007-06-25
  8. ^ Fernanda de Matos Feijó, Cíntia Reis Ballard, Kelly Carraro Foletto, Bruna Aparecida Melo Batista, Alice Magagnin Neves, Maria Flávia Marques Ribeiro, Marcello Casaccia Bertoluci: Saccharin and aspartame, compared with sucrose, induce greater weight gain in adult Wistar rats, at similar total caloric intake levels

Bahan bacaan terkait

[sunting | sunting sumber]
  • Eric D. Walters, Frank T. Orthoefer, Grant E. DuBois, (1991). "Sweeteners : discovery, molecular design, and chemoreception : developed from a symposium sponsored by the Division of Agricultural and Food Chemistry at the 199th National Meeting of the American Chemical Society, Boston, Massachusetts, April 22–27, 1990". Food / Nahrung. Washington, DC: American Chemical Society. 35 (10): 1046. doi:10.1002/food.19910351011. ISBN 978-0-8412-1903-8 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]