Lompat ke isi

Bendahara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bendera Pahang (1853-1887). Hitam adalah warna resmi jabatan bendahara.

Bendahara (Jawi: بنداهارا) adalah jabatan penyelenggara pemerintahan di kerajaan-kerajaan Melayu klasik, setara dengan jabatan mangkubumi atau wazir, sebelum diintervensi oleh bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-19. Bendahara diangkat oleh sultan dan merupakan suatu jabatan yang diwariskan turun-temurun. Lazimnya bendahara adalah kerabat sultan, dan berasal dari nasab yang sama.

Jabatan ini masih digunakan di negara Brunei Darussalam, dengan gelar Pengiran Bendahara.

Tugas dan tanggung jawab bendahara

[sunting | sunting sumber]

Jabatan yang paling sebanding dengan bendahara adalah jabatan wazir[1][2] di kerajaan-kerajaan Islam. Selaku penghulu segenap kaum bangsawan di dalam wilayah kerajaan, bendahara mengemban sejumlah tanggung jawab khusus. Bendahara merupakan tulang punggung kesultanan Melayu. Di masa silam, para bendahara Malaka dan Johor mengemban berbagai tugas dan tanggung jawab, namun yang paling utama adalah:

  • Menobatkan dan menabalkan sultan
  • Mengurus hajat hidup sultan
  • Memberi nasihat kepada sultan mengenai hal-ikhwal pemerintahan berdasarkan syariat Islam dan adat-istiadat Melayu
  • Bertanggung jawab atas urusan kelahiran, pernikahan, dan pemakaman di lingkungan istana
  • Bertanggung jawab atas pewarisan takhta jika sultan mangkat tanpa waris
  • Memerintah selaku pemangku jika sultan belum cukup umur
  • Melaksanakan segala titah sultan

Kesempurnaan pemerintahan seorang sultan bertumpu pada kebijaksanaan bendaharanya. Bendahara senantiasa bermusyawarah dengan kaum bangsawan sebelum mengambil keputusan. Musyawarah ini dilakukan demi kebaikan seluruh rakyat, terutama bilamana timbul permasalahan-permasalahan di dalam negeri. Ruang lingkup tanggung jawab bendahara jauh lebih besar dibanding wazir atau perdana menteri pada zaman modern.

Campur tangan Inggris dan Belanda dalam penyelenggaraan pemerintahan negeri-negeri Melayu, serta kemerdekaan negara Malaysia dan Indonesia mengakibatkan jabatan bendahara merosot menjadi sebuah gelar simbolis belaka.

Di zaman modern, jabatan bendahara lazimnya disamakan dengan jabatan perdana menteri.[3] Meskipun tugas dan tanggung jawab seorang bendahara agak mirip dengan yang diemban seorang perdana menteri, kedua jabatan ini tidak dapat disetarakan. Salah satu perbedaan yang sangat jelas adalah bobot kewenangan yang dimiliki kedua jabatan ini. Pada masa lampau, lazimnya bendahara adalah pejabat negara tertinggi di bawah sultan. Meskipun bendahara yang menyelenggarakan pemerintahan negara, kewenangan tertinggi tetap berada di tangan sultan. Sultan tidak berkewajiban mempertanggungjawabkan kewenangannya kepada bendahara maupun kepada pihak-pihak lain. Sultan-sultan Melayu di masa lampau berkuasa secara mutlak, bukan sekadar kepala monarki konstitusional sebagaimana Yang Dipertuan Agung di negara Malaysia sekarang ini, di mana kekuasaan politik efektif berada di tangan Perdana Menteri Malaysia.

Meskipun belum jelas bilamana gelar ini pertama kali dipergunakan, pemerintahan Kesultanan Malaka pernah dikelola oleh sejumlah bendahara yang sangat berwibawa. Bendahara Malaka yang termasyhur adalah Tun Perak. Pada masa jabatan Tun Perak, yang meliputi masa pemerintahan beberapa sultan, Malaka mencapai puncak kejayaannya menjelang akhir abad ke-15. Menurut Sulalatus Salatin dan Hikayat Hang Tuah, Tun Perak secara diam-diam menyelamatkan nyawa Hang Tuah, seorang laksamana yang telah diperintahkan untuk dibunuh oleh Sultan Malaka.

Pada 1612, Bendahara Tun Sri Lanang dari Kesultanan Johor menerima amanat Sultan Johor, Alauddin Riaayat Syah, untuk menghimpun dan menyusun sejarah Melayu ke dalam bentuk pustaka. Kitab yang dihasilkannya diberi judul Sulalatus Salatin (silsilah raja-raja) dan di kemudian hari juga lazim disebut Sejarah Melayu. Kitab ini merupakan sebuah mahakarya sastra Melayu.

Pada 1699, Bendahara Johor, Abdul Jalil, naik takhta menjadi Sultan Abdul Jalil IV setelah Sultan Mahmud Syah II mangkat terbunuh tanpa meninggalkan waris. Setelah Sultan Abdul Jalil IV naik takhta, negeri Pahang dianugerahkan sebagai Tanah Kurnia (tanah ulayat pribadi) kepada Bendahara Johor. Bendahara Tun Abbas dan anak cucunya turun-temurun memerintah atas negeri Pahang sampai akhirnya Tun Mutahir dilengserkan dari tampuk pemerintahan Pahang dalam sebuah perang saudara pada 1863.

Kesultanan Terengganu yang ada saat ini didirikan oleh Sultan Terengganu, Zainal Abidin I, pada 1708. Sutan Zainal Abidin I adalah putra Tun Habib Abdul Majid, Bendahara Johor pada abad ke-17.

Bendahara Malaka dan Johor

[sunting | sunting sumber]
  • Tun Perpatih Muka Berjajar, Bendahara Malaka
  • Tun Perpatih Tulus, Bendahara Malaka
  • Raden Bagus, Bendahara Malaka
  • Raden Anum, Bendahara Sri Amar Diraja, Bendahara Malaka
  • Tun Perpatih Sedang, Bendahara Sri Wak Raja, Bendahara Malaka
  • Tun Perpatih Putih, Bendahara Paduka Tuan, Bendahara Malaka
  • Tun Perak, Bendahara Paduka Raja, Bendahara Malaka
  • Tun Mutahir, Bendahara Sri Maharaja, Bendahara Malaka
  • Tun Tepok, Bendahara Paduka Tuan, Bendahara Malaka

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, Kesultanan Malaka digantikan oleh Kesultanan Johor.

  • Tun Koja, Bendahara Paduka Raja, Bendahara Johor
  • Tun Biajid, Bendahara Sri Maharaja, Bendahara Johor
  • Tun Mahmud, Bendahara Tun Narawangsa, Bendahara Johor
  • Tun Isap Misai, Bendahara Sri Maharaja, Bendahara Johor
  • Tun Sri Lanang, Bendahara Paduka Raja, Bendahara Johor (ditawan oleh bala tentara Aceh dan memutuskan untuk menetap di Aceh)

Bendahara-bendahara berikut ini tersingkir dari istana setelah Laksamana Paduka Tuan berkuasa:

  • Tun Anum, Bendahara Sri Maharaja, Bendahara Johor
  • Tun Mat Ali, Bendahara Paduka Tuan, Bendahara Johor
  • Tun Rantau, Bendahara Sri Maharaja, Bendahara Johor (ditawan oleh bala tentara Jambi)
  • Tun Habib Abdul Majid, Bendahara Sri Maharaja, Bendahara Padang Saujana (memulihkan jabatan bendahara di istana Johor)
  • Tun Abdul Jalil, Bendahara Paduka Raja (naik takhta menjadi Sultan Johor setelah kemangkatan Sultan Mahmud Syah II, cabang nasab Tumenggung dari wangsa Tun Abdul Jalil menjadi penguasa negeri Johor di Malaysia sampai sekarang)
  • Tun Abbas, Bendahara Sri Maharaja, Bendahara Johor, Bendahara di Pahang

Setelah Sultan Abdul Jalil IV naik takhta, Bendahara Johor dianugerahi negeri Pahang sebagai tanah ulayat pribadi. Oleh karena itu, untuk seterusnya para bendahara Johor digelari Bendahara di Pahang. Para bendahara ini juga digelari "Raja Bendahara" karena kedudukan mereka selaku penguasa Pahang, negeri jajahan Kesultanan Johor.

Bendahara di Pahang

[sunting | sunting sumber]
  • Tun Abdul Majid, Raja Bendahara Pahang I (1777–1802)
  • Tun Muhammad, Raja Bendahara Pahang II
  • Tun Koris, Bendahara Paduka Raja, Raja Bendahara Pahang III (1803–1806)
  • Tun Ali, Bendahara Siwa Raja, Raja Bendahara Pahang IV (1806–1847)
  • Tun Mutahir, Bendahara Sri Maharaja, Raja Bendahara Pahang V (1847–1863).

Tun Mutahir adalah Raja Bendahara Pahang yang terakhir. Ia dimakzulkan oleh adiknya sendiri, Wan Ahmad, yang kelak ditabalkan menjadi Sultan Pahang selepas pembagian wilayah Kesultanan Johor.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
Rujukan
  1. ^ http://www.answers.com/topic/vizier#Dictionary_d
  2. ^ http://www.wordnik.com/words/vizier
  3. ^ http://prpm.dbp.gov.my/Search.aspx?k=Bendahara
Daftar pustaka
  • R.O. Windstedt, Bendaharas and Temenggungs, Journal of Malayan Branch of Royal Asiatic Society, Jilid X Bagian I, 1932
  • R.O. Windstedt, Early Rulers of Perak, Pahang and Acheh, Journal of Malayan Branch of Royal Asiatic Society, Jilid X Bagian I, 1932
  • R.O. Windstedt, A History of Johore, Journal of Malayan Branch of Royal Asiatic Society, Jilid X Bagian III, 1932
  • (Tun) Suzana (Tun) Othman, Institusi Bendahara; Permata Melayu yang hilang, 2002, ISBN 983-40566-6-4
  • (Tun) Suzana (Tun) Othman, Tun Seri Lanang: Sejarah dan Warisan Tokoh Melayu Tradisional, 2008, ISBN 978-983-43485-6-4
  • (Tun) Suzana (Tun) Othman, Perang bendahara Pahang, 1857-63: pensejarahan semula menelusi peranan British, 2007, ISBN 978-983-195-282-5