Lompat ke isi

Bakteriosin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Istilah “bakteriosin” diperkenalkan untuk menunjukkan protein atau peptida beracun yang diproduksi oleh semua jenis bakteri yang aktif pada bakteri terkait tetapi tidak membahayakan sel penghasil. Meskipun bakteriosin menunjukkan aktivitas toksik pada bakteri, mereka tidak boleh disamakan dengan “toksin”, istilah yang digunakan untuk protein yang diproduksi oleh bakteri yang memiliki efek toksik pada hewan inang melalui aksi sitotoksik spesifik pada sel khusus. Bakteriosin diproduksi oleh ribosom bakteri sebagai metabolit sekunder. Saat ini penggunaan bakteriosin telah banyak menjadi perhatian karena senyawa tersebut sangat potensial digunakan sebagai pengawet dalam industri makanan terutama makanan yang difermentasi. Kemampuan bakterisidal dari bakteriosin sebagai biopreservatif ini dapat dimanfaatkan sebagai alternatif antibakteri yang aman dan juga efektif.

Klasifikasi Bakteriosin

[sunting | sunting sumber]

Bakteriosin dari bakteri Gram-positif secara luas diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, diantaranya:

a. Bakteriosin Kelas-I

Bakteriosin kelas I adalah peptida yang dimodifikasi pasca-translasi yang mengandung asam amino yang tidak biasa, seperti residu lanthionine atau metil lanthionine dan disebut lantibiotik. Bakteriosin tersebut lebih kecil dari 5 kDa dan di produksi oleh Bakteri Asam Laktat (BAL) untuk menyerang bakteri gram-positif lainnya. Bakteriosin ini diklasifikasikan menjadi tiga tipe: Tipe A bermuatan positif dan peptide linier contohnya yaitu laktisin, tipe B netral atau bermuatan negative dan peptide globuler contohnya yaitu mersasidin, dan tipe C gabungan dari dua tipe, contohnya yaitu nisin.

b. Bakteriosin Kelas-II

Bakteriosin kelas II adalah peptida yang stabil terhadap panas, tidak dimodifikasi, dan tidak mengandung amino yang tidak biasa asam dan karenanya mereka disebut non-lantibiotik. Bakteriosin tersebut lebih kecil dari 10 kDa dan di produksi oleh Bakteri Asam Laktat (BAL). Perbedaan utama antara Kelas I dan Kelas II bakteriosin adalah bahwa bakteriosin Kelas I mengalami modifikasi pasca-translasi dan dengan demikian memberikan naik ke lanthionine asam amino yang tidak biasa, sedangkan bakteriosin Kelas II tidak mengalami modifikasi. Bakteriosin ini dibagi menjadi dua sub kelas: kelas IIa antilisterial contohnya yaitu pediosin PA1 dan kelas IIb gabungan contohnya yaitu carnobakteriosin B2.

c. Bakteriosin Kelas-III

Bakteriosin kelas III adalah molekul protein yang labil terhadap panas dan lebih besar (>10 kDa). Bakteriosin ini diklasifikasikan menjadi 2 sub-kelas: Kelas IIIa atau bacteriolysins contohnya Lisotaphin dan Kelas IIIb atau bakteriosin non-litik contohnya helvetisin.

d. Bakteriosin Kelas-IV

Bakteriosin kelas IV adalah protein kompleks yang mengandung bagian lipid atau karbohidrat. Kelompok ini ditambahkan setelah pengamatan bahwa bakteriosin aktivitas yang diperoleh dalam supernatan bebas sel dihapuskan tidak hanya dengan perawatan protease, tetapi juga juga oleh enzim glikolitik dan lipolitik. Bakteriosin ini lebih kecil dari 10 kDA dengan tipe peptide siklik. contohnya yaitu enterosin AS-48.

Gram-negatif bakteriosin dikategorikan berdasarkan ukurannya. Bakteriosin ini dihasilkan dari bakteri Gram negatif (terutama berasal dari enterobacteriaceae) dan merupakan molekul yang stabil terhadap panas. Mereka diklasifikasikan menjadi 4 kelas berdasarkan massa molekulnya:

a. Kolisin

Kolisin membunuh sel target melalui du acara, yaitu dengan pembentukan pori dan aktivitas nuclease. Colicin membunuh sel target dengan pembentukan pori dalam membrane sel, contohnya kolisin A, B, E1, Ia, Ib, K, E5. Sedangkan kolisin membunuh sel target dengan aktivitas nuklease dengan berperan sebagai Dnase, RNase atau tRNAse, contohnya adalah E2, E3, E4, E5, E6, E7, E9.

b. Colicins like

Disebut colicins like karena protein dari bakteriosin tersebut memiliki struktur dan fungsi mirip dengan kolisin, yaitu sebagai pembentuk pori.

c. Phage-tail like

Phage-tail like yaitu bakteriosin yang memiliki struktur besar, mirip dengan ekor bakteriofag dinamakan phage-tail like bacteriocin.

d. Mikrosin

Mikrosin merupakan bakteriosin yang di produksi oleh bakteri gram negative yang memiliki peptide jauh lebih kecil dari 10 kDa dan dimodifikasi dalam dua kelas, yaitu pasca-tranlasi dan tidak dimodifikasi.

Cara Kerja Bakteriosin

[sunting | sunting sumber]

Aktivitas produksi bakteriosin oleh bakteri probiotik dipengaruhi oleh faktor pH, suhu, sumber karbon, serta fase pertumbuhan. Produksi bakteriosin meningkat dengan meningkatnya pH media pertumbuhan sampai pada kondisi keasaman optimum, selanjutnya mengalami penurunan. Suhu juga factor yang dapat mempengaruhi peningkatan produksi bakteriosin, namun juga sebagai factor yang dapat membunuh bakteri produser. Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat (BAL) meningkat dengan meningkatnya jumlah biomassa menyebabkan produksi bakteriosin meningkat selanjutnya turun setelah mencapai fase stasioner. Proses produksi yang efisien dan efektif dapat diperoleh dengan mengoptimalkan factor-faktor yang mempengaruhinya. Beberapa hal yang mempengaruhi produksi bakteriosin yaitu jenis bakteri, kondisi fisik fermentasi, tipe media tumbuh dan ketersediaan nutrient dalam media.

Target utama bakteriosin adalah membran sitoplasma sel mikroba patogen. Tahap awal bakteriosin adalah merusak permeabilitas membran dan menghilangkan proton motive force (PMF), sehingga menghambat produksi energi dan biosintesis protein. Mekanisme aktivitas bakterisidal bakteriosin adalah bakteriosin kontak langsung dengan membran sel. Proses kontak ini mampu mengganggu potensial membran berupa destabilitas membran sitoplasma, sehingga sel menjadi tidak kuat. Ketidakstabilan membran mampu memberikan dampak pembentukan lubang atau pori pada membran sel bakteri patogen melalui proses gangguan terhadap PMF. Kebocoran yang terjadi akibat pembentukan lubang pada membran sitoplasma tersebut ditunjukkan oleh adanya aktivitas keluar masuknya molekul seluler. Kebocoran ini berdampak pada penurunan pH seluler. Pengaruh pembentukan lubang sitoplasma merupakan dampak adanya bakteriosin yang menyebabkan terjadinya perubahan gradien potensial membran dan pelepasan molekul interseluler maupun masuknya substansi ekstraseluler. Peristiwa tersebut berpengaruh pada terhambatnya pertumbuhan sel bakteri patogen dan mampu menyebabkan kematian pada sel bakteri yang sensitif terhadap bakteriosin. Bakteriosin disintesis selama fase pertumbuhan eksponensial, biasanya mengikuti pola sintesis protein. Perpanjangan waktu inkubasi setelah fase stationer menyebabkan aktivitas bakteriosin menurun karena terbebasnya protease dari sel pada saat sel memasuki fase kematian.

Aplikasi Bakteriosin pada Makanan

[sunting | sunting sumber]

Bakteriosin merupakan peptide, senyawa metabolit sekunder yang memiliki potensi sebagai pengawet alami (biopreservasi) untuk menggantikan penggunaan pengawet kimia pada bahan makanan. Bakteriosin sebagai biopreservasi telah memenuhi kriteria kemanan pangan, antara lain aman bagi konsumen, memiliki aktivitas bakterisidal terhadap bakteri gram positif, stabil terdistribusi secara merata dalam system makanan. Bakteriosin ini telah digunakan di beberapa negara sebagai pengawet untuk beberapa jenis makanan dengan dosis yang bervariasi.

Nisin merupakan salah satu bakteriosin yang paling banyak ditemukan. Nisin termasuk bakteriosin Kelas I sebagai antibiotik tipe A berupa molekul panjang dan non globular. Nisin pertama kali diisolasi dari kultur dihasilkan oleh Lactococcus lactis dan telah dinyatakan aman penggunaan oleh Badan Pangan Dunia (FAO/WHO) sebagai pengawet pangan alami dengan pemanasan dan pH rendah. Kemampuannya menghambat bakteri dan sifat nisin tidak toksik, maka nisin dapat digunakan sebagai biopreservasi pada produk pangan. Selain tidak toksik, nisin mudah mengalami biodegradasi karena merupakan senyawa protein, tidak membahayakan mikroflora usus karena mudah dicerna oleh enzim-enzim dalam saluran pencernaan dan tidak menyebabkan resistensi bakteri sebagai antibiotik terapetik.

Mekanisme kerja nisin yaitu dawali dengan pembentukan kompleks nisin dengan lipid II, kemudian terjadi kontak langsung dengan membran sitoplasma sel yang menyebabkan terbentuknya pori pada membran sel dan reduksi proton motive force (PMF) sehingga stabilitas membran terganggu. Akibatnya terjadi kebocoran dan pelepasan molekul intraseluler maupun masuknya substansi ekstraselular dari lingkungan, sehingga menghambat pertumbuhan sel dan diikuti dengan proses kematian pada sel yang sensitif terhadap nisin. Sedangkan bagi bakteri penghasil nisin itu sendiri, bakteri tersebut dapat melindungi diri dari toksin melalui ekspresi protein imunitas yang spesifik yang disandikan dalam operon bakteriosin.

Penggunaan nisin sebagai biopreservasi dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu: penambahan nisin murni pada produk pangan, inokulasi produk pangan dengan bakteri asam laktat (BAL) dan penggunaan bahan bantu proses pengolahan produk pangan yang sebelumnya sudah di fermentasi dengan bakteri penghasil bakteriosin. Nisin dapat digunakan atau ditambahkan pada tahap proses pengolahan produk pangan secara tunggal maupun kombinasi dengan perlakuan pengawetan lainnya. Penggunaan nisin secara bersamaan dengan cara atau bahan pengawet lainnya umumnya bersifat sinergis dan menghasilkan daya awet yang lebih lama.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. Ramith,R. et.al. (2015). Bacteriocins and Their Applications in Food Preservation. Dalam Critical Reviews in Food Science and Nutrition [online], vol 60 (18) halaman 2. Tersedia: https://www.researchgate.net/publication/280219660_Bacteriocins_and_Their_Applications_in_Food_Preservation.doi: https://doi.org/10.1080/10408398.2015.1020918
  2. Fawza, Y.N. (2010). “Bahan Pengawet Nisin: Aplikasinya pada Produk Perikanan”. Squalen 5. (3). 79-85.
  3. Fatimah,P.M. (2020). “Kajian Pustaka: Pemanfaatan Bakteriosin dari Produk Fermentasi sebagai Antibakteri terhadap Sthapylococcus aureus”. Indonesia Medicus Veterinus 9. (5). 835-848.
  4. Wardani,P. (2017). “The Bacteriocin Antimicrobial Test Activity Of Probiotic Bacteria Isolated From Giant Prawns (Macrobrachium rosenbergii)”.
  5. Chavan, M.A dan Riley, M.A. (2007). Molecular Evulution of Bacteriocins in Gram-Negative Bacteria. Department of Biology, University of Massachusetts Amherst, Amherst, MA 01003, USA. 20-43.
  6. Vuyst, D.C. dan Leroy, F. (2007). Bacteriocins from Lactic Acid Bacteria: Production, Purification, and Food Applications. Dalam Journal of Molecular Microbiology and Biotechnology [Online], vol 13 (4) halaman 194. Tersedia: https://www.researchgate.net/publication/6012620_Bacteriocins_from_Lactic_Acid_Bacteria_Production_Purification_and_Food_Applications.
  7. Chavan, A.M. dan Riley, M.A. (2007). Molecular Evolution of Bacteriocins in Gram-Negative Bacteria. Bacteriocins: Ecology and Evolution. 20-43. Tersedia: https://www.bio.umass.edu/biology/riley/sites/www.bio.umass.edu.biology.riley/files/2007b%20Molecular%20evolution%20of%20bacteriocins%20in%20gram-negative%20bacteria.pdf.
  8. Usmiati, S. dan Richana, N. (2011). “Potensi Bakterosin dari Lactobacilus sp. Galur SCG 1223 Sebagai Biopreservatif pada Daging Segar”. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian 7. (2). 66-77.