Teka-teki puluhan anak Suku Maya yang dikorbankan untuk dewa-dewi 600 tahun lalu

suku maya, budaya

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Ukiran abad ke-16 yang menggambarkan pengorbanan manusia.
  • Penulis, Antonio González-Martín dan Alicia Portela Estévez
  • Peranan, The Conversation

Peristiwa ini terjadi lebih dari 600 tahun yang lalu. Sebanyak 64 anak dikorbankan kepada dewa-dewi di kota kuno Chichén Itzá. Kota itu terletak di Semenanjung Yucatán pada era Maya pra-Columbus - yang sekarang merupakan Meksiko bagian selatan.

Kisah bagaimana puluhan anak tersebut mengembuskan napas terakhir barangkali memunculkan bayangan mengerikan bagi manusia saat ini.

Namun sebuah riset paleogenetik terhadap tulang anak-anak itu memberikan informasi berharga tentang salah satu budaya paling menarik dan penuh teka-teki di Benua Amerika.

Penelitian tersebut telah dipublikasikan di jurnal Nature.

Interaksi bangsa Maya dengan orang Eropa terjadi pada 1517, ketika penjelajah Spanyol bernama Francisco Hernández de Córdoba (1467-1517) tiba di Semenanjung Yucatán (kini area Meksiko).

Orang-orang Maya adalah masyarakat yang mendirikan bangunan dengan arsitektur yang spektakuler. Mereka juga memilii pengetahuan mendalam tentang astronomi dan matematika.

Suku Maya juga merupakan satu dari sedikit masyarakat di Benua Amerika yang pada waktu itu telah mengembangkan sistem penulisan yang kompleks.

Buktinya adalah penemuan Kodeks Dresden, salah satu koleksi teks hieroglif bangsa Maya pra-Columbus yang memuat beragam perhitungan astronomi. Dinamai Kodeks Dresden karena kitab itu diperoleh Perpustakaan Negara Bagian Saxon, Dresden, pada abad ke-19.

Diyakini bahwa salah satu pemimpin ekspedisi penaklukan Meksiko, Hernán Cortés, mengirim kodeks tersebut ke Eropa pada 1519, sebagai penghormatan kepada Raja Charles I dari Spanyol.

suku maya, budaya

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Kuil Kukulkan di Chichén Itzá didedikasikan untuk Ular, dewa bangsa Maya.

Para penjelajah yang saat itu baru tiba di Semenanjung Yucatán sangat terkejut dengan ritual yang dilakukan oleh penduduk Maya.

Kebudayaan tersebut sulit dapat dipahami oleh masyarakat Eropa pada abad ke-16.

Di bawah bayang-bayang Dewa Ular

Dalam peradaban bangsa Maya, kota suci Chichén Itzá begitu menonjol. Kota ini dibangun antara tahun 800 dan 1100 Masehi.

Sekarang wilayah ini terletak di Negara Bagian Yucatán, Meksiko.

Di bagian utara kota suci Chichén Itzá berdiri sebuah kuil berlambang Kukulkan. Kuil itu berada sangat dekat dengan gua suci yang memiliki sebuah lubang raksasa.

Lubang yang tercipta dari proses geologis itu kini berisi tulang-tulang dari lebih 200 orang. Mayoritas tulang itu milik anak-anak yang dikorbankan untuk para dewa mereka.

Studi terhadap jenazah 64 anak di bawah umur ini membuka jendela untuk memahami mitologi Maya, hubungan genetik, pola makan, dan asal usul setiap individu yang dikorbankan.

Studi itu juga memungkinkan para peneliti untuk mengeksplorasi konsekuensi demografis dan epidemiologis yang ditimbulkan oleh interaksi orang-orang Maya dengan para penjelajah Eropa.

suku maya, budaya

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Tulang-tulang para bayi yang dikorbankan di gua suci Chichén Itzá dianalisa oleh para peneliti dalam studi paleogenomik terbaru.

Yang dikorbankan adalah anak laki-laki dan anak kembar

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Sampai saat ini, suku Maya dianggap bisa mengorbankan perempuan dan laki-laki.

Namun analisis paleogenomik mengungkap fakta yang bertentangan. Tulang-tulang dari 64 anak yang diteliti ternyata berasal dari anak laki-laki.

Selain itu, ada juga sembilan pasangan berkerabat di antara mereka, dua di antaranya adalah kembar identik secara genetik.

Temuan ini menegaskan preferensi ritual suku Maya dalam mengorbankan laki-laki dan bahwa mereka dipilih berdasarkan hubungan biologis.

Kehadiran pasangan anak yang kembar identik secara genetis mencerminkan pentingnya ritual yang dilakukan anak kembar dalam budaya Maya.

Dalam Popol Vuh, atau kitab suci bangsa Maya, terdapat cerita tentang perjalanan dan pengorbanan dua anak kembar ke dunia bawah, sebuah tempat di bawah tanah yang dihuni oleh para dewa penyakit dan kematian.

Narasi itu menceritakan bagaimana kepala salah satu dari mereka yang terpenggal menjadi ayah dari pasangan kembar kedua, yang dikenal sebagai Si Kembar Pahlawan. Sosok ini menjalani siklus pengorbanan dan kebangkitan untuk mengecoh para dewa dunia bawah.

Gua suci Chichén Itzá dapat mewakili Dunia Bawah, sementara pasangan anak kembar yang dikorbankan akan membangkitkan dewa kembar.

suku maya, budaya

Sumber gambar, WIKICOMMONS

Keterangan gambar, Sebuah kisah yang masih dipercayai publik secara luas menuturkan bahwa Kodeks Maya Dresden dikirim oleh Hernán Cortés ke Eropa pada tahun 1519 sebagai penghormatan kepada Raja Charles I dari Spanyol.

Kehidupan sehari-hari para korban

Riset terbaru ini juga mengungkap bahwa makanan utama anak-anak yang dikorbankan ini adalah jagung. Mereka juga memakan hewan darat dan air.

Di sisi lain, temuan soal variasi pola makan mengungkap peluang fakta bahwa anak-anak itu berasal dari komunitas lain. Beberapa data menunjukkan, sebagian dari mereka tinggal di wilayah Meksiko tengah atau bahkan dari tempat yang lebih jauh seperti Honduras.

Temuan tentang pola makan yang sangat mirip di antara anak-anak itu juga menunjukkan bahwa mereka dibesarkan dalam jaringan keluarga yang memberi cara pengasuhan serupa.

Selain itu, ada juga fakta tentang anak-anak yang berkerabat dekat ternyata meninggal pada usia yang sama. Temuan ini menandakan bahwa mereka mungkin dikorbankan dalam peristiwa yang sama, yaitu ritual pengorbanan yang dilakukan secara berpasangan atau kembar.

Hasil riset terbaru ini juga mengungkap, meskipun terjadi perubahan budaya dan demografi penting di wilayah ini selama 500 tahun terakhir, terdapat kesinambungan genetik antara suku Maya kuno dan suku Maya saat ini.

Secara logis, terdapat sejumlah perbedaan besar di antara masyarakat Maya yang hidup dalam era berlainan ini, semuanya berkaitan dengan dampak dramatis yang ditimbulkan oleh kontak dengan orang-orang Eropa.

Sebelumnya telah muncul kajian bahwa populasi Maya saat ini juga memiliki gen Eropa dan Afrika – masing-masing 7% dan 0,03%.

Selain itu, perkawinan campuran yang terjadi di antara mereka bersifat asimetris, yaitu antara laki-laki asing dan perempuan pribumi.

suku maya, budaya

Sumber gambar, WIKICOMMONS

Keterangan gambar, Kuil Seribu Prajurit di Chichén Itza.

Perang, kelaparan, dan epidemi yang berhubungan dengan kontak dengan orang-orang Eropa juga mempunyai dampak demografis yang dramatis.

Terdapat sebuah perkiraan bahwa populasi asli Maya turun dari sekitar 20 juta orang pada saat kontak awal, menjadi dua juta orang pada akhir abad ke-16.

Secara matematis, terjadi penurunan sebesar 90% dalam waktu kurang dari satu abad.

Aturan bertahan hidup

suku maya, budaya

Sumber gambar, WIKICOMMONS

Keterangan gambar, Kitab Florentine yang disusun oleh Bernardino de Sahagún (1499-1590) mendeskripsikan masyarakat adat yang sakit cacar atau cocoliztli.

Interaksi bangsa Maya dengan para penjelajah Eropa juga memiliki konsekuensi tak langsung lain yang tidak kalah penting.

Contohnya, pada populasi Maya saat ini, muncul sejumlah gen yang berkaitan dengan metabolisme lipid dan kesuburan. Proses ini merupakan reaksi terhadap kelaparan dan pembatasan yang mereka derita sejak zaman kolonial.

Terdapat pula proses yang mendukung terciptanya gen pemicu sistem kekebalan yang melindungi mereka dari penyakit menular.

Gen ini secara khususnya melawan Salmonella enterica, bakteri yang menyebabkan epidemi cocolizti mengerikan yang menghancurkan Mesoamerika pada tahun 1545.

Kesimpulannya, penelitian yang dipublikasikan jurnal Nature adalah contoh bagaimana penelitian antropologi saat ini berguna tidak hanya dalam studi biologi populasi masa lalu, tapi juga dalam rekonstruksi dan interpretasi budaya mereka.

Antonio González-Martín adalah profesor Antropologi Fisik di Complutense University of Madri.

Alicia Portela Estévez merupakan mahasiswa doktoral di bidang Antropologi Fisik pada universitas yang sama.