Menu Close
Shinta Saragih/The Conversation Indonesia, CC BY

‘Swiftonomics’: ini yang bisa dipelajari dari tur Taylor Swift yang membawa cuan bagi Singapura

Ketika Taylor Swift mendendangkan “Shake It Off” waktu berkonser di suatu negara, ia mungkin dapat membantu perekonomian negara tersebut untuk shake off atau terlepas dari dampak perlambatan ekonomi global.

Sejak Bank Dunia mengumumkan kemungkinan resesi global dalam laporannya pada 2022, kekhawatiran dunia akan periode kontraksi ekonomi yang berkepanjangan melanda banyak negara.

Pada bulan Januari, Bank Dunia memperkirakan perekonomian global akan mengalami perlambatan untuk tahun ketiga secara berturut-turut di tahun 2024. Menurut pengamatan beberapa ahli, hal ini berpotensi menimbulkan resesi dalam waktu dekat.

Dampak dari resesi global bisa saja berbeda dari satu negara ke negara lain. Namun dengan terganggunya rantai pasokan dan arus modal, gejala dan dampak terhadap ekonomi yang umum terjadi adalah peningkatan angka pengangguran dan tingkat kemiskinan, kenaikan harga, penurunan laba, dan kebangkrutan (pailit) bagi para pelaku usaha.

Di tengah kekhawatiran ini, Swift, penyanyi dan penulis lagu dari Amerika Serikat (AS), mungkin punya satu solusi untuk mengatasi tantangan ini. Selain pembelajaran ekonomi mikro dan makro, ‘Swiftonomics’ dapat menjadi satu mata kuliah yang menarik—terutama dalam mendiskusikan dampak ekonomi dari tur global penyanyi multitalenta ini.

Tur yang memecahkan rekor

Eras adalah tur konser keenam dari Taylor Swift. Konser ini dimulai pada Maret 2023 dan dijadwalkan berakhir pada Desember 2024. Terdiri dari 152 pertunjukan yang ditampilkan di lima benua, para kritikus memberikan ulasan yang sangat positif untuk desain estetika konser yang megah dan suasana konser yang immersive—menggabungkan pengalaman nyata dan digital sehingga menghasilkan keterlibatan mendalam atau penuh.

Tur ini berhasil menjadi tur musik terlaris sepanjang sejarah, dan menjadi tur yang pertama mencapai total penjualan tiket sebesar US$1 miliar (sekitar Rp 16.38 triliun) secara global. Yang lebih mengesankan lagi, jumlah tersebut belum termasuk penjualan film Eras Tour yang kabarnya menghasilkan US$250 juta (setara Rp 4.1 triliun), ditambah lagi merchandise senilai US$200 juta (setara Rp 3.3 triliun) yang terjual selama tur tersebut.

Lalu, apa hubungan tur ini dengan resesi global?

Multiplier effect musik

Mahasiswa jurusan ekonomi tingkat satu harusnya bisa memahami bahwa dampak dari tur Taylor Swift tidak hanya terbatas pada angka-angka fantastis yang diuraikan di atas. Faktanya, tur ini bisa memberikan efek berganda (multiplier effect) yang bisa membangkitkan perekonomian negara yang dikunjungi.

Secara sederhana, efek berganda mengukur bagaimana perubahan dalam aktivitas ekonomi, seperti investasi ataupun pembelanjaan negara, berpotensi mempunyai dampak yang lebih besar terhadap sektor ekonomi yang lain dan total penghasilan suatu negara.

Fenomena ini bukan hal baru. Konser nama-nama besar lainnya di dunia musik, seperti Coldplay yang berbasis di Inggris dan boyband Korea Selatan BTS, juga menghasilkan dampak serupa. Namun, skala efek pengganda yang dihasilkan oleh tur Taylor Swift jauh lebih kuat dibandingkan tur-tur lainnya.

Sebagai contoh, kita dapat mempelajari dampak efek berganda konser Swift di Singapura bulan Maret lalu.

Tingkatkan Produk Domestik Bruto (PDB)

Meskipun menimbulkan kontroversi karena menjadi satu-satunya negara perhentian untuk tur Taylor Swift di Asia Tenggara, Singapura menikmati dorongan ekonomi yang signifikan. Hal ini bahkan setelah mengurangi angka US$18 juta (setara Rp 294.8 milyar) yang dibayarkan Singapura untuk menyelenggarakan konser Asia Tenggara-nya eksklusif di negara kota tersebut.

Ada beberapa statistik yang menarik dari konser Taylor Swift. Berkat konsernya, dari tanggal 1 hingga 9 Maret 2024, pemesanan terkait pariwisata di Singapura meningkat sebesar 275% dibandingkan periode yang sama dua minggu kemudian. Pemesanan penerbangan menuju dan akomodasi di Singapura masing-masing meningkat sebesar 186% dan 462% selama pekan konser tersebut berlangung.

Apa dampaknya terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Singapura?

Para ekonom mengatakan kepada Bloomberg bahwa mereka memperkirakan konser Taylor Swift di Singapura akan menambah sekitar SG$300–$400 juta (setara Rp3.7 triliun) terhadap PDB negara tersebut dalam kuartal pertama.

Peningkatan tambahan ini melebihi pertumbuhan tahunan Singapura yang dilaporkan sebesar 2,7% pada kuartal pertama tahun 2024.

Percepatan pertumbuhan terbaru tersebut melampaui pertumbuhan PDB sebesar 2,2% pada kuartal terakhir tahun 2023–sekali lagi berkat kontribusi efek pengganda di sektor pariwisata Singapura yang dipicu oleh bintang pop Amerika tersebut.

Dampak luar biasa dari konser enam hari di Singapura ini mengikuti jejak kesuksesan tur di AS tahun sebelumnya.

Sebuah lembaga riset memperkirakan perekonomian AS berpotensi menikmati peningkatan berkat efek penggandaan sebesar US$5 miliar (setara Rp 81.9 triliun) dari 52 pertunjukan di negara tersebut tahun lalu, ketika penonton konser menghabiskan rata-rata US$1.300 (setara Rp 21.3 juta) untuk setiap pertunjukan. Dalam laporan Federal Reserve AS, Taylor Swift bahkan sempat mendapatkan referensi:

Meskipun secara umum pemulihan pariwisata di wilayah ini lambat […] Bulan Mei menjadi bulan yang terbaik dalam pendapatan pemasukan Hotel di Philadelphia sejak awal pandemi, yang sebagian besar dikarenakan oleh tamu yang menghadiri konser Taylor Swift di kota tersebut.

Pembelajaran untuk negara lain

Langkah strategis Singapura untuk mengadakan konser eksklusif adalah Kebijakan Fiskal Ekspansif (Expansionary Fiscal Policy) yang “kreatif”.

Kebijakan Fiskal Ekspansif tradisional pada umumnya melibatkan kebijakan-kebijakan seperti pengurangan pajak dan/atau peningkatan jumlah belanja pemerintah. Ahli Ekonomi Keynesian meyakini perlunya intervensi pemerintah untuk menstimulasi dan memperkuat aktivitas ekonomi selama resesi. Mereka memiliki pandangan bahwa “senjata-senjata” fiskal seperti ini masih diperlukan.

Namun para kritik berpendapat bahwa efek penggandaan dari kebijakan-kebijakan tradisional ini sangat tergantung oleh jeda waktu. Akibatnya, kebijakan-kebijakan fiskal seperti ini mungkin baru mempunyai dampak terhadap perekonomian suatu negara beberapa bulan atau, kadang-kadang, beberapa tahun setelah kebijakan-kebijakan tersebut dilaksanakan.

Namun pengalaman Singapura ketika menjadi tuan rumah tur Taylor Swift menjadi cerita yang berbeda.

Meski di satu sisi, perekonomian mengalami periode singkat inflasi karena tekanan dari sisi permintaan yang membuat harga beberapa barang dan jasa meningkat secara signifikan, tapi ketika keenam konser habis terjual, berbagai sektor perekonomian Singapura—termasuk hotel, maskapai penerbangan, dan restoran—mendapatkan dorongan pemasukan yang sangat dibutuhkan pasca COVID-19.

Pencapaian Singapura dari konser Taylor Swift bisa menjadi pembelajaran universal yang dapat dipetik oleh semua negara.

Jika direncanakan secara strategis, kebijakan belanja yang ditargetkan dan melibatkan nama-nama besar di industri hiburan, dapat menciptakan efek pengganda yang besar. Dampak seperti ini dapat membantu perekonomian yang sedang terpuruk untuk bangkit kembali.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 186,700 academics and researchers from 4,994 institutions.

Register now