Feodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik (sosial politik) yang dijalankan di kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra. Dalam pengertian yang asli, struktur ini disematkan oleh sejarawan pada sistem politik di Eropa pada Abad Pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan kelas bangsawan lainnya (vassal) sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu (disebut fief atau, dalam bahasa Latin, feodum) yang ditunjuk oleh monarki (biasanya raja atau lord).

Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal". Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh para pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas.

Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, sering kali kata ini digunakan untuk merujuk pada perilaku-perilaku yang mirip dengan perilaku para penguasa yang lalim, seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'.

Abad kesembilan di Eropa barat adalah periode kekacauan. Charlemagne selama beberapa waktu telah menciptakan integrasi masyarakat yang merupakan hasil dari invasi bangsabangsa Jerman, dan telah mempersatukan suku-suku yang berperang dibawah pemerintahan yang tersentralisasi. Tetapi kekaisaran Charles magne, seperti yang telah kita pelajari, tidak bertahan lama. Kekaisaran ini pecah menjadi beberapa kerajaan yang terpisah. Para penerus (suksesor) Charlemagne di Prancis, Jerman, dan Italia menikmati sedikit otoritas mereka. Mereka memerintah, tetapi tidak menguasai. Selama abad kegelapan ini sungguh tidak mungkin bagi seorang raja untuk memerintah dengan keras. Ketiadaan jalan-jalan yang bagus atau ketiadaan cara mudah untuk berkomunikasi membuat raja mengalami kesulitan untuk menggerakkan pasukannya dengan cepat dari satu distrik ke distrik lainnya untuk meredam pemberontakan. Bahkan jika jalanjalan bagus tersedia, kekurangan uang akan membuat raja tidak mampu mempertahankan angkatan bersenjatanya yang kuat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan raja. Terlebih lagi, wilayah-wilayah taklukkan yang belum dilebur menjadi sebuah negara, tidak memiliki rasa kesetiaan dan kasih sayang kepada raja. Mereka sedikit sekali peduli dengan raja, yang mereka tidak begitu kenal daripada penguasa-penguasa lokal yang tinggal dekat mereka.[1]

Falsafah

sunting

Dalam feodalisme, etika memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebenaran. Pemimpin dianggap sebagai landasan kebenaran meskipun perbuatannya dapat saja tidak benar. Suatu kebenaran itu sendiri datang dari tindakan tidak menyalahkan tindakan yang dilakukan oleh pemimpin.[2]

Ciri-ciri

sunting

Dalam feodalisme, kaum bangsawan dan vasal mempunyai hubungan kesetiaan yang bersifat pribadi. Sedangkan pada hak dan kewajiban tertentu berlaku sistem kontrak di antara mereka. Selain itu, kekuasaan politik tidak dibagi-bagi secara merata. Pemegang kekuasaan hanya beberapa orang dengan jumlah yang sedikit. Kekuasaan politik ini bersifat terpusat dan pribadi. Hubungan sosial di antara kaum bangsawan dan vasal ditentukan oleh keberadaan tanah. Kaum bangsawan dan vasal mempertahankan status sosial dan kekuasaannya di bidang ekonomi dengan pemanfaatan tanah. Dalam feodalisme umumnya juga terbentuk pasukan elit atau pasukan pribadi.[3]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Webster, Hutton (2021). World History: Sejarah Dunia Lengkap. Yogyakarta: IndoLiterasi. hlm. 172. ISBN 978-602-0869-90-2. 
  2. ^ Jati, B. M. E., dan Pryambodo, T. K. (2015). Maya, ed. Kewirausahaan: Technopreneurship untuk Mahasiswa Ilmu-ilmu Eksakta. Yogyakarta: Penerbit ANDI Yogyakarta. ISBN 978-979-29-5138-7. 
  3. ^ Rahman, M. T. (2011). Glosari Teori Sosial (PDF). Bandung: Ibnu Sina Press. hlm. 23–24. ISBN 978-602-99802-0-2. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-04-22. Diakses tanggal 2021-06-11.